Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meneladan Mariana Yunita, Menyingkap Tabu Seksualitas, Melindungi Remaja

Kompas.com - 25/12/2020, 08:04 WIB
Irawan Sapto Adhi

Penulis

Melalui pengalamannya, Tata meyakini bahwa pendidikan seks yang diberikan sejak dini dapat membantu anak-anak menyiapkan masa depan dengan lebih baik.

Apresiasi kepada Tata juga disampaikan oleh Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi alias Kak Seto.

Baca juga: Nyata Bahayakan Anak, Rokok Diserukan Naik Harga

Doktor psikologi anak dari Universitas Indonesia (UI) itu menganggap, kehadiran pemuda aktif seperti Tata sangatlah penting di masyarakat.

Kak Seto menyebut Tata bisa menjadi pelapis atau bahkan pengganti pentingnya peran orangtua dalam memberikan edukasi tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi kepada anak-anak.

Karena tak bisa dipungkiri, kata dia, di Indonesia masih ada banyak orang tua yang tidak mau atau mampu menjelaskan masalah seksualitas kepada anak-anak, terutama dari kalangan menengah ke bawah.

Pendiri dan ketua pertama Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) itu juga melihat sekolah kadang-kadang hanya teoritis dalam memberikan pendidikan seks.

"Jadi, sebagai langkah preventif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak atau anak sebagai pelaku, saya kira bagus sekali apa yang dilakukan Tata dan teman-teman di Tenggara dengan memberikan kesadaraan atau pengetahuan ke anak mengenai masalah seksualitas," kata dia saat diwawancara Kompas.com via telepon, Kamis (26/12/2020).

Kak Seto pun berpendapat, bahwa perjuangan Tata di NTT sangat layak dijadikan teladan bagi muda-mudi lain di berbagai daerah.

Para dewasa muda bisa menjadi kakak yang dapat memberikan benteng perlindungan bagi anak-anak maupun remaja akan bahaya pelecehan atau kekerasan seksual yang masih banyak terjadi di berbagai tempat.

"Bisa menjadi sangat efektif ketika pendidikan seks disampaikan oleh teman-teman muda. Jadi tidak sebagai bapak atau ibu ke anak. Kadang-kadang 'jurangnya' terlalu dalam karena perbedaan generasi," ungkap dia.

Kak Seto menuturkan, jika edukasi mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi dilakukan oleh seseorang yang usianya tidak terpaut jauh, anak-anak maupun para remaja bisa jadi akan lebih nyaman dan lebih mudah menerima informasi.

"Remaja kan inginnya komunikasi melalui persahabatan, bukan main instruksi, perintah, atau komando yang mungkin masih sering dilakukan para orang tua,” jelas dia.

Kak Seto sangat mengapresiasi para pemuda yang mau bergerak menyisihkan waktu, pikiran, tenaga, maupun materi untuk memberikan pendidikan seks kepada anak-anak dan remaja.

Tapi, dia berpesan, alangkah baiknya bagi komunitas anak muda ini jangan pernah berjalan sendiri.

Kak Seto menyarankan komunitas untuk tetap berkoordinasi dengan pemerintah setempat atau bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang berkompeten terkait isu hak kesehatan seksual dan reproduksi anak dan remaja.

Di sisi lain, Kak Seto berharap ada inisiatif yang bisa dilakukan oleh pemerintah maupun pihak-pihak terkait lebih dulu untuk mendukung gerakan mulia anak-anak muda tersebut.

Backup paling bagus adalah dari pemerintah, apakah itu dari Dinas Kesehatan setempat atau langsung dari BKKBN,” kata dia.

Selain itu, backup juga perlu atau penting diberikan oleh sejumlah lembaga yang sangat kredibel, seperti dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), hingga Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).

Sementara itu, Kak Seto tetap meminta kepada para orangtua untuk dapat memberikan pendidikan seks kepada anak dengan baik.

Para orangtua sebaiknya menjadi orang pertama bagi anak sebagai sumber informasi soal pendidikan seks yang tepat.

Lagi pula, menurut dia, pendidikan seks akan lebih baik jika tidak dilakukan terlalu massal. Pasalnya, tingkat interpretasi setiap anak bisa berbeda-beda, sehingga orangtua sangat berperan dalam memberikan pendidikan seks kepada anak.

Kak Seto menjelaskan, pendidikan seks usia dini dapat dimulai sejak anak berusia 2,5-3 tahun.

Pada usia tersebut, anak-anak biasanya mulai memegang organ intimnya atau sudah mulai penasaran dengan kondisi tubuhnya.

Dia memandang, hal pertama yang perlu ditanamkan dalam pendidikan seks kepada anak adalah adanya identitas seks yang jelas sebagai laki-laki seperti ayah atau perempuan seperti ibu.

Langkah pertama yang bisa dilakukan, yakni menjelaskan secara detail kepada anak, jenis kelamin serta nama organ intimnya dengan sebutan yang benar.

Orangtua tak perlu sungkan penyebut penis atau vagina karena memang begitu seharusnya.

“Karena salah satu kendala dalam perkembangan psikoseksual adalah kaburnya identitas seksual, sehingga muncul berbagai macam LGBT atau penyimpangan perilaku seks,” terang dia.

Setelah itu, anak-anak penting untuk diajarkan cara menjaga organ tubuhnya, mulai dari bibir, dada, alat kelamin, sampai pantat.

Ditekankan kepada anak, bahwa bagian-bagian intim tersebut tak boleh ada yang sembarangan bisa menyentuh atau memegang. Begitu juga tidak boleh disalahgunakan.

Latih juga anak-anak untuk menjaga kebersihan dan kesehatan organ intimnya, seperti membilas dengan air saat buang air kecil, memakai sabun saat buang air besar (BAB), hingga ganti pakaian dalam secara teratur.

“Setelah itu orang tua bisa mulai mengembangkan pola perilaku anak yang umum sesuai jenis kelamin masing-masing,” jelas dia.

Kak Seto menegaskan bahwa pengenalan akan organ tubuh yang berhubungan dengan seks perlu dijelaskan sebaik mungkin oleh orangtua sama seperti ketika menerangkan organ lain pada tubuh.

Sebab, menurut dia, hal itu penting dan tidak harus dianggap tabu demi memberi pengetahuan yang benar dan jelas kepada anak.

“Anak-anak harus menjadi garda terdepan untuk melindungi dirinya sendiri. Mereka juga perlu diajarkan untuk berteriak atau melapor apabila ada yang ingin meraba organ intimya. Ini penting hingga anak dewasa,” jelas dia.

Senada, Koordinator Fasilitasi Kesehatan Reproduksi Keluarga BKKBN, dr. Popy Irawati, menilai pendidikan seks penting diberikan kepada anak-anak dan remaja untuk menghindarkan beragam masalah di kemudian hari, seperti kekerasan seksual, kehamilan tidak diinginkan, penyakit menular seksual, aborsi, HIV/AIDS, dan pernikahan dini. Edukasi tersebut dapat dilakukan oleh para pemuda.

Baca juga: Apakah Penderita HIV/AIDS Lebih Rentan Tertular Covid-19?

“Remaja ini menjadi fokus perhatian penting karena jumlahnya juga banyak. Tercacat, 1 dari 4 penduduk Indonesia adalah penduduk dengan usia 10-24 tahun,” tutur dia.

dr. Popy mengatakan, pernikahan dini sendiri bisa menyebabkan beragam masalah lain yang dialami remaja, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRD), kematian ibu saat melahirkan, kesehatan reproduksi yang buruk, drop out, depresi, termasuk bayi lahir dalam keadaan prematur, kurang gizi, dan berisiko terkena stunting.

Sementara, dia menyampaikan data, bahwa angka kelahiran menurut umur (ASFR) 15-19 tahun (muda) di Indonesia belum juga menunjukkan penurunan yang signifikan.

Berdasarkan Surveri Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, angka ASFR 15-19 tahun mencapai 51. Artinya, terdapat 51 bayi yang dilahirkan oleh 1.000 wanita usia 15-19 tahun pada saat itu.

Sementara, menurut SDKI 2012, angkanya hanya berubah menjadi 48. 

Angka tersebut masih jauh dari target ASFR 16-19 tahun yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019, yakni 38 kelahiran per 1.000 wanita.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com