Empat tahun silam, Tata mantap mendirikan Tenggara setelah melihat belum adanya komunitas yang dibentuk oleh remaja dan untuk remaja yang fokus pada isu hak kesehatan seksual dan reproduksi, khususnya di Kota Kupang.
Dia berharap Tenggara dapat menjadi pusat informasi dan layanan terkait isu hak kesehatan seksual dan reproduksi.
Dari keinginan itulah, program Bacarita Kespro kemudian dilahirkan.
Bacarita diambil dari bahasa Melayu Kupang yang berarti bercerita. Sedangkan Kespro adalah singkatan kesehatan reproduksi. Jadi, Bacarita Kespro adalah kegiatan bercerita tentang kesehatan repdoduksi.
Baik sebelum maupun saat Pandemi Covid-19, Bacarita Kespro biasanya diadakan Tenggara setiap Sabtu, meski tidak menutup kemungkinan bisa dilakukan pada hari lain.
Tata menyampaikan, dalam menjalankan program edukasi ini, Tenggara memiliki sasaran kunci.
Target utamanya adalah remaja berusia 10 sampai 24 tahun yang berasal dari kelompok poor (miskin), marginal (terpinggirkan), social excluded (dikeluarkan dari lingkungan sosial), dan underserved (tak terlayani) atau disingkat PMSEU.
Mengapa demikian? Tata melihat, dari tahun ke tahun, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang hadir di Kupang sudah mulai merambah dunia sekolah untuk berbagai isu kesehatan seksual dan repdosuksi.
Sementara, remaja yang tidak bersekolah, remaja yang putus sekolah, remaja yang dikeluarkan karena hamil di luar nikah, remaja yang aktif di komunitas di luar sekolah maupun remaja di tempat ibadah dirasa belum banyak yang mendapatkan informasi terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi.
“Maka dari itu, Tenggara mantap memilih untuk fokus berbagi pada remaja PMSEU,” tutur Tata.
Bukan hanya remaja, anak-anak kemudian dijadikan teman Bacarita Kespro karena maraknya kasus pelecahan seksual yang terjadi di berbagai daerah di NTT.
“Saya sendiri pernah mengalami pelecehan seksual saat kecil dan pada saat itu saya enggak bilang ke orangtua karena memang tidak tahu cara menjelaskannya bagaimana. Saya bahkan tidak tahu perlakuan yang saya terima saat itu adalah betuk pelecehan. Jadi, saya tidak mau ada korban lagi,” jelas dia.
Baca juga: 8 Ciri-ciri Pubertas pada Perempuan
Demi bisa bertemu langsung anak-anak dan remaja, Tata pun rela menjelajah ke desa-desa, berbagai kota, dan bahkan menyeberang laut menyambangi pulau-pulau di sekitar NTT.
Tidak jarang, dia bahkan rela mengeluarkan uang pribadi-bukan kas Tenggara- untuk bisa pergi ke berbagai daerah.
Ketika sudah berhasil menemui remaja, Tata akan mengajak mereka berdiskusi banyak hal tentang hak kesehatan seksual dan produksi, seperti soal kehidupan remaja, pacaran yang sehat, mencegah kehamilan, pubertas, haid, mimpi basah, dan lain sebagainya.
Sementara, anak kecil mendapatkan metode khusus tentang mengenal tubuh. Tata biasanya akan menggunakan alat peraga untuk menjelaskan hal itu ke anak-anak.
Dalam memberikan edukasi, Tata dan sukarelawan lain di Tenggara memang sering kali akan lebih menyiapkan beragam atribut pembelajaran.
Selain boneka untuk menunjukkan anatomi tubuh, beberapa alat peraga yang kerap dipakai Tata dan teman-temanya, yakni permainan ular tangga edukasi dari bahan spanduk dan kertas tebak mitos atau fakta seputar seks.
“Kami ingin membawakan informasi terkait kesehatan reproduksi ini dengan cara yang semenarik mungkin dan ‘dekat’ dengan adik-adik. Komunikasi yang berjalan harus dua arah,” jelas dia.
Selain menyiapkan alat peraga, Tata bercerita, sebelum melakukan edukasi, sukarelawan Tenggara biasanya akan lebih dulu mengumpulkan data mengenai latar belakang anak-anak dan remaja yang akan ditemui.
Hal ini dilakukan karena Tenggara tidak mau asal memberikan informasi. Edukasi yang disajikan Tenggara harus kontekstual dengan masalah ataupun budaya yang berkembang di lingkungan masing-masing anak atau remaja.
“Jadi kami memetakan masalahnya dulu. Kami ingin informasi yang diberikan betul-betul yang dibutuhkan oleh adik-adik dan jangan sampai salah bicara,” tutur alumnus kedokteran hewan Universitas Nusa Cendana itu.
Tak hanya itu, Tata juga memberikan standar kualitas bagi sukarelawan Tenggara yang hendak menjadi fasilitator dalam Bacarita Kespro.
Di mana, siapa saja harus bersedia mempersiapkan diri sejak seminggu sebelum kegiatan, seperti wajib membaca modul dan berlatih manajemen forum agar bisa membawakan materi dengan baik untuk adik-adik.
Dia menyampaikan, ketentuan ini sebenarnya hanya untuk penyegaran.
Pasalnya, menurut dia, para sukarelawan Tenggara dari awal bergabung sudah sering kali dibekali dengan beragam pelatihan yang diisi oleh senior maupun dengan mengundang pemateri ahli, seperti dari dokter, psikolog, perwakilan Komisi Penanggulangan AIDS (KPAI), dan LSM-LSM terkait.
Bahkan, pengurus Tenggara beberapa kali sempat mengundang mantan pekerja seks komersial (PSK) atau penyintas HIV/AIDS untuk dapat memberikan gambaran secara riil mengenai kasus-kasus yang terjadi dalam kesehatan seksual dan reproduksi kepada anggota.
Selain itu, Tenggara juga kerap mendelegasikan 20 anggota secara bergiliran untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh pihak luar, seperti dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, maupun organisasi atau komunitas lain.
“Sebelum mendirikan Tenggara, saya juga demikian. Awalnya saya coba mengumpulkan uang untuk bisa beli sejumlah buku sebagai sumber referensi. Kemudian, saya cari-cari kesempatan untuk bisa ikut pelatihan-pelatihan Kespro,” kenang dia.
Berjalannya waktu, program Bacarita Kespro yang digagas Tata bersama rekan-rekannya di Tenggara mampu merangkul semakin banyak anak-anak dan remaja di NTT.
Hingga 2019, sedikitnya sudah ada 2.000-an anak dan remaja di 43 komunitas di wilayah NTT yang mendapatkan akses informasi dari Tenggara.
Jangkauan ini mencakup Kota Kupang, Desa Oesao di Kabupaten Kupang, Desa Neke di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Pulau Kera di Kabupaten Sumba Timur bersama Kopernik.
Beberapa komunitas yang pernah digandeng Tenggara di antaranya, yakni Komunitas Tuli Kupang, Komunitas Children See Children Do, PAR Benyamin Oebufu Kupang, Persatuan Tuna Daksa Kristiani, Rumah Sejuta Mimpi, Remaja Gereja di Neke Timor Tengah Selatan, dan Komunitas Dusun Flabomora.
Untuk memperluas akses edukasi pendidikan seksual dan reproduksi di NTT, Tenggara telah berkolaborasi dengan BKKBN, KPAI, dan Woman for Indonesia.
Kegiatan edukasi Bacarita Kespro juga sudah mendapat dukungan dari International Youth Alliance for Family Planning (IYAFP), termasuk beberapa kolaborasi dari lembaga internasional lainnya.
Oleh karena itu, Tata bersama rekannya-rekannya di Tenggara kini tidak jarang diundang pula untuk berbagai informasi mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi di sekolah-sekolah, kampus-kampus, atau komunitas di luar PMSEU lainnya.
Perjuangan Tata yang tak kenal lelah dalam memberikan edukasi hak kesehatan seksual anak ini pun dilirik oleh juri dalam pemilihan penerima apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2020.
Oktober 2020, Mariana Yunita Hendriyani Opat akhirnya terpilih sebagai penerima apresiasi SATU Indonesia Award untuk bidang kesehatan.
“Saya tentu tidak menyangka bisa terpilih untuk mendapatkan penghargaan ini. Karena saya merasa apa yang saya lakukan ini merupakan hal yang memang harus saya kerjakan,” tanggap Tata.
Dia berharap melalui apresiasi SATU Indonesia Award ini bisa menginspirasi para pemuda untuk mau terjun mengedukasi adik-adik dari kalangan anak-anak dan remaja tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi.