KOMPAS.com – Dokter mengingatkan para atlet juga bisa mengalami obesitas atau kegemukan meski rutin berolahraga setiap hari.
Dokter Spesialis Keolahragaan, dr. Michael Triangto, Sp.KO., menyampaikan memang benar risiko obesitas lebih besar dialami oleh orang awam daripada atlet. Itu karena atlet memiliki porsi olahraga yang cenderung lebih banyak daripada orang-orang pada umumnya.
Tapi, menurut dia, kebiasaan olahraga ini tetap saja tidak bisa menjamin 100 persen bagi atlet untuk tidak mengalami obesitas. Hal itu didasarkan pada pola makan yang diterapkan para atlet.
Baca juga: Bepe Pensiun, Dokter Ingatkan Bahaya Obesitas dan Gangguan Jantung
Michael menyebut jika para atlet tidak bisa menjaga pola makan, mereka bukan tidak mungkin akan mengalami kegemukan.
Dia menjelaskan bahwa semakin berat latihan seorang atlet, maka jumlah porsi makan yang dibutuhkannya juga cenderung lebih banyak.
“Ketika atlet ini berolahraga berarti kan kalori dari makanan akan dibakar. Energi kemudian habis, dia lapar lagi, dan makan lagi. Dia latihan lebih berat kemudian energi habis lagi, makan lebih banyak lagi. Kalau makannya tidak terkontrol, atlet ini bisa gemuk,” jelas Michael saat diwawancarai Kompas.com, Rabu (15/9/2021).
Menurut dia, porsi makan atlet rata-rata juga bisa mencapai da 2-3 kali lipat lebih banyak dari kebanyakan orang.
Beberapa atlet bahkan bisa saja dituntut untuk mengonsumsi lebih banyak makanan, terutama makanan sumber protein karena menyesuaikan dengan jenis olahraga yang ditekuni.
“Setiap cabang olahraga berbeda untuk saran asupan kalorinya bagi atlet. Biasanya kami harapkan sekitar 4.000-6.000 kkal. Tapi lagi-lagi tidak bisa dipukul rata untuk setiap atlet. Misalnya, untuk atlet senam lantai dan balet, mereka kan cenderung tidak butuh banyak tambahan asupan makanan,” jelas dia.
Michael pun mendorong para atlet untuk bisa memahami kebutuhan makan masing-masing demi kesehatan.
Bahkan, lebih jauh, penerapan pola makan sesuai kebutuhan ini penting dilakukan oleh para atlet untuk menjaga prestasi mereka di masa depan.
“Ketika berat badan naik dan mengurangi performa, mereka bisa kalah lagi-kalah lagi. Belum lagi, mereka jadi berisiko lebih besar mengalami sejumlah penyakit terkait kegemukan,” tutur dia.
Baca juga: Awas! Obesitas Mengintai Para Mantan Atlet
Michael berpendapat pemahaman akan pemenuhan nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan atlet bukan hanya menjadi tanggung jawab atlet sendiri.
Menurut dia, para pengurus atau pelatih juga perlu turun tangan membantu para atlet.
Pengurus misalnya bisa bekerjasama dengan dokter untuk memastikan pola makan atlet sesuai kebutuhan dan nutrisi yang dikonsumsinya harus baik.
Michael menyampaikan pada dasarnya para atlet bukan hanya perlu mendapatkan pemahaman terkait pemenuhan nutrisi yang baik.
Dia memandang para atlet melainkan sedari awal seharusnya sudah mendapatkan pendidikan dasar tentang kesehatan secara umum. Ini termasuk mental untuk menjaga kesehatan secara terus-menerus.
Karena, menurut dia, atlet bisa mengalami obesitas bukan hanya karena mereka tidak tahu tentang batas asupan makanan yang harus dikonsumsi.
Tapi sebenarnya, bisa jadi ada atlet yang sebetulnya paham terkait pola makan sehat, namun memilih untuk mengingkarinya.
“Contohnya, ketika sudah juara, punya duit, para atlet ini belanja makanan mulu. Akhirnya, berat badan naik. Prestasi melorot. Jadi ini juga bisa jadi adalah persoalan mental yang tidak terbentuk dari awal,” tutur dia.
Jadi, Michael menilai, seharusnya dari awal ada niat dari pemerintah untuk memberikan dasar pendidikan kepada para atlet tentang bagaimana menjaga kesehatan yang baik.
“Tentunya kesehatan memang berasal dari usaha dari masing-masing atlet. Cuma di balik itu saya melihatnya, untuk menjadi atlet, jalannya di Indonesia tidak semuanya memiliki dasar pendidikan yang cukup,” tutur dia.
Baca juga: Cedera Olahraga, Pentingnya “Sedia Payung Sebelum Hujan” Bagi Atlet
Terkait pendidikan dasar ini, Michael berharap pemerintah setidaknya benar-benar dapat memberikan kesempatan kepada para atlet untuk menuntaskan pendidikannya di bangku sekolah.
"Ada atlet menang-menang terus, gas, tidak dipikirkan sekolahnya. Muncul anggapan enggak usah sekolah enggak apa-apa kok. Kadang kadang sekolah pun, sekadar formalitas untuk bisa mendapatkan ijzah, mendapatkan pekerjan menjadi PNS setelah berhenti (jadi atlet)," jelas dia.
Nah, Michael mempertanyakan, jika dasar pendidikan para atlet kurang, lantas dari mana mereka tahu cara menjaga kesehatannya.
"Kalau dia tidak tahu cara menjaga kesehatannya, ya amburadul. Dia bisa minum-minuman (beralkohol), merokok, begadang, dugem, dan lain sebagaimnya," jelas dia.
Selain pemenuhan akan pendidikan dasar, menurut Michael, para atlet di Indonesia butuh sistem organisasi yang sehat.
Dia ingin jangan sampai ada pengurus atau pelatih yang menuntut secara berlebihan kepada para atlet agar selalu berprestasi. Hal itu misalnya bisa membuat para atlet takut mengatakan jika dirinya sedang cedera hingga dicoret dari skuat.
Padahal jika cendera atlet ini tidak segera ditangani, bisa semakin parah dan semakin sulit diobati pula hingga berisiko mengancam masa depan mereka.
Baca juga: Cedera Saat Olahraga Sebaiknya Jangan Langsung Dipijat, Ini Penjelasan Dokter
"Ini bagian dari sistem. Jeleknya pelatih atau pengurus, ingin atletnya super, menang terus. enggak boleh kalah. Kalah dimaki, menang dipuji. Jadi enggak ada pilihan lain, atlet harus siap bertanding," jelas dia.
Michael setuju jika atlet terus berprestasi. Tapi, menurut dia, sebagai pengurus dan pelatih harus punya startegi yang baik sehingga tahu kapan atlet harus bertanding dan kapan harus recovery.
"Pengurus atau pelatih harus bisa menentukan, di mana atlet harus ambil poin dan di mana mereka harus istirahat dulu. Tidak memaksakan para atlet dapat hat-trick, quattrick, dan segala macemnya," tutur dia.
Michael yakin para atlet juga ingin menang terus, tapi mereka juga kadang tidak tahu. Dia mengibaratkan atlet seperti anak-anak.
"Jadi mereka terkadang cedera karena emosi atau ambisi dari orang lain. Nah ini, para atlet harus tahu juga kapan harus bertanding, kapan harus istirahat," terang dia.
Michael mencontohkan untuk atlet badminton. Pada suatu ketika akan ada turnamen di eropa, yakni di Belanda, Jerman, All England, dan Denmark. Dari sini, menurut dia, para pengurus dan pelatih bisa menentukan target dulu di kompetisi mana atlet bisa juara. Misalnya, ditentukan di All England.
Untuk mendapatkan kondisi prima saat berlaga di ajang All England, Michael memandang para atlet bisa diturunkan saja di Belanda, tidak usah di Jerman.
"Jangan bilang sayang tiketnya atau alasan apa lainnya. Jadi biarkan atlet istirahat dulu, pemulihan dulu. Para atlet ini punya waktu untuk pemulihan. Di All England, para atlet ini diharapkan bisa tampil maksimal," terang dia.
Baca juga: Mengapa Obesitas Bisa Memicu Naiknya Gula Darah?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.