UNTUK memahami autofagi seperti yang dijelaskan oleh Profesor Christian de Duve, sebaiknya juga mempelajari tentang diabetes.
Ini adalah titik awal Profesor de Duve menemukan mekanisme autofagi. Tidak hanya sisi baik, tapi juga sisi buruknya. Diabetes adalah sisi buruk autofagi!
Banyak yang telah menulis dan mengulas mekanisme autofagi. Baik di luar negeri juga di Indonesia.
Latar belakang penulisnya juga beragam. Ada profesional kesehatan seperti dokter, perawat dan ahli gizi. Yang bukan kalangan kesehatan lebih banyak lagi. Terutama para penggiat diet intermitten fasting.
Semuanya bicara tentang sisi positif mekanisme autofagi. Autofagi dapat menyembuhkan penyakit apapun.
Apalagi di kalangan penggiat intermitten fasting. Mereka bisa membuat target tentang apa yang bisa dicapai mekanisme autofagi melalui puasa sekian jam, sekian hari.
Namun apakah sahabat sadar, segala sesuatu yang ada di dunia ini selalu memiliki sisi baik dan sisi buruk. Selalu berpasangan, tidak satu sisi.
Begitupun dengan mekanisme autofagi. Namun jarang sekali yang membahas sisi buruk ini. Dianggapnya, autofagi adalah terapi alternatif yang sempurna untuk semua penyakit. Semua muncul karena pemahaman yang keliru tentang mekanisme autofagi.
Berkali saya katakan autofagi bukan puasa. Autofagi adalah sebuah mekanisme regenerasi sel. Sayangnya karena kurangnya pemahaman, bukan regenerasi sel yang diperoleh, malah kondisi katastropik. Inilah yang saya lihat sebagai sisi buruk autofagi.
Sisi buruk autofagi itu adalah diabetes melitus. Selama ini orang menyebutnya sebagai mother of disease.
Sumber segala penyakit. Hal ini muncul karena pemahaman yang keliru tentang penyakit ini. Padahal kajian tentang diabetes justru mendahului penelitian tentang autofagi.
Dimulai tahun 1921, saat seorang ahli bedah Frederick Banting dan mahasiswanya Charles Best melakukan percobaan pada pankreas di Toronto, Kanada.
Percobaan tersebut menghasilkan ekstrak pankreas yang kemudian diuji cobakan pada seekor anjing yang mengalami diabetes. Percobaan tersebut berhasil menyembuhkan anjing tersebut.
Tahun 1922, diuji cobakan pertama kali pada manusia. Pasien pertamanya adalah Leonard Thompson, seorang bocah laki-laki berusia 14 tahun.
Anak ini mengalami diabetes dengan buang air kecil hingga 5 liter per hari. Kadar gula darahnya diatas 500 mg/dl, walaupun telah dilakukan pembatasan asupan makanan.
Banting dan Best kemudian memberikan suntikan ekstrak pankreas yang kemudian diketahui sebagai insulin.
Setelah pemberian insulin, kondisi Thompson membaik. Gula darahnya turun hingga 100 mg/dl. Begitupun keluhan banyak kencingnya.
Thompson menjadi lebih segar dan kuat setelah pemberian rutin insulin. Itulah awal mula kesimpulan diabetes sebagai akibat kekurangan insulin.
Pada tahun 1934, ditemukan hormon inkretin oleh ilmuwan asal Belgia Jean La Barre. Diketahui inkretin ini akan memicu pelepasan insulin setelah makan.
Hal ini akan terlihat perbedaannya saat glukosa diberikan perenteral atau dimasukkan langsung ke pembuluh darah. Pemberian perenteral tidak merangsang pelepasan insulin.
Pada tahun 1941, ditemukan kembali glukagon oleh Christian de Duve, juga dari Belgia. Penemuan kembali juga disertai akan temuan fungsi glukagon dalam metabolisme glukosa.
Temuan ini mencapai puncaknya saat ditemukan lisosom dan peroksisom tahun 1963-1964. Kedua organel ini berperan dalam proses autofagi dan glukoneogenesis.
Temuan La Barre dan de Duve seharusnya sudah lama mengubah konsep penyakit diabetes. Diabetes BUKAN akibat kekurangan insulin. Diabetes terjadi karena proses AUTOFAGI!
Iya, diabetes adalah sisi gelap autofagi. Diabetes bukanlah karena kekurangan insulin. Diabetes terjadi karena proses glukoneogenesis yang berlebihan. Proses glukoneogenesis ini akan menghasilkan glukosa.
Glukosa hasil proses glukoneogenesis tidak memicu pelepasan insulin. Hal ini diakibatkan tidak dilepaskannya inkretin. Inkretin pelepasannya oleh karbohidrat di saluran cerna.
Artinya bukan insulin kurang, tapi tidak ada pemicuan inkretin, karena glukosa tidak melalui saluran cerna.
Inkretin terdiri dari GIP (gastric inhibitory peptide). Peptida ini bersifat merangsang pelepasan insulin di pankreas.
Selain GIP juga ada GLP 1 (glucagon like peptide 1), peptida ini bersifat menghambat kerja glukagon. Glukagonlah yang selama ini berperan dalam proses autofagi.
Karena mengabaikan peran glukagon dalam proses penyakit, maka penangananya keliru. Penanganan diabetes lebih berkutat pada upaya untuk menurunkan kadar gula darah.
Padahal proses glukoneogenesis sejatinya adalah mekanisme kompensasi. Kompensasi kekurangan glukosa.
Hal ini tentu saja fatal. Apalagi konsep pengobatan pun akhirnya hanya berusaha untuk mengendalikan kadar gula darah semata.
Tidak pernah dicari hal-hal yang memicu terjadinya glukoneogenesis berlebih. Proses autofagi tak terkendali.
Juga tidak pernah dikaji masalah apa yang ditimbulkan akibat kenaikan gula darah tersebut. Sehingga sulit melihat hubungan terjadinya berbagai komplikasi diabetes dengan proses penyakitnya.
Akhirnya penanganan berkesan menebak-nebak. Hanya sekadar menunda proses katastropik. Padahal masalah yang timbul akibat diabetes bukan dari kenaikan gula darah.
Masalah yang muncul pada diabetes adalah gangguan keseimbangan cairan. Gangguan yang memicu mekanisme kompensasi berbagai organ lainnya.
Karena tidak pernah mengaitkan proses penyakit dengan mekanisme autofagi. Akibatnya, pemberian insulin menjadi pilihan.
Padahal insulin bersifat antagonis dengan glukagon. Akibatnya proses autofagi tidak pernah tuntas. Regenerasi sel yang diharapkan menjadi tujuan tidak tercapai.
Pahami diabetes sebagai bagian dari proses autofagi. Maka penyakit ini akan berakhir. Bahkan berakhir bahagia berupa regenerasi sel.
Jika tidak, maka inilah sisi buruk autofagi yang tidak pernah dipahami. Sisi buruk yang semakin memperburuk kondisi kesehatan seseorang.
Salam, semoga menjadi inspirasi sehat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.