KOMPAS.com - Infeksi oportunistik merupakan komplikasi akibat human immunodeficiency virus (HIV) yang sudah berkembang menjadi acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Ini merupakan kondisi serius yang harus mendapat penanganan tepat dari layanan kesehatan.
HIV adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan dan melemahkan pertahanan tubuh saat terserang infeksi.
Tahap atau stadium lanjut dari HIV yang tidak diobati bisa berkembang menjadi AIDS. Pada fase AIDS, jumlah sel CD4 turun drastis di bawah 200.
Baca juga: 5 Cara untuk Menurunkan Risiko Tertular HIV/AIDS
Ketika sel CD4 sangat minim, tubuh semakin kesulitan melawan infeksi. Kondisi ini menyebabkan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mengalami infeksi oportunistik.
Infeksi oportunistik merupakan infeksi akibat jamur, virus, parasit, atau bakteri yang terjadi pada orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah, seperti pengidap HIV/AIDS.
Berikut 4 macam infeksi oportunistik yang kerap terjadi pada penderita HIV/AIDS.
Kandidiasis adalah infeksi oportunistik (IO) yang sangat umum pada orang terinfeksi HIV/AIDS. Infeksi ini disebabkan oleh sejenis jamur yang umum, yang disebut kandida.
Infeksi jamur ini menyebabkan gangguan kesehatan pada mulut, tenggorokan, kerongkongan, jaringan paru-paru dalam, hingga vagina.
Kandidiasis yang menyerang vagina menyebabkan vulva meradang dan gatal-gatal yang intens. Selain itu, muncul pula cairan putih kental dari vagina.
Sementara itu, kandidiasis yang menyerang mulut atau biasa disebut oral lebih sering menyerang bayi yang tertular HIV/AIDS dari sang ibu serta orang dengan defisiensi imun.
Kandidiasis oral umumnya menyebabkan retak pada ujung mulut. Apabila infeksi menyebar ke tenggorokan makan Anda akan mengalami esofagitis. Gejalanya berupa gumpalan putih seperti busa atau bintik merah.
Kandidiasis oral juga menyebabkan hilang napsu makan karena kesulitan menelan, sakit tenggoorkan, hingga mual.
Baca juga: Bahaya Penyakit HIV yang Harus Jadi Perhatian
Pneumocystis pneumonia (PCP) adalah infeksi serius yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis jirovecii.
Kebanyakan orang yang mengalami PCP memiliki kondisi medis yang melemahkan sistem kekebalan mereka. Sekitar 30-40 persen orang yang terkena PCP mengidap HIV/AIDS.
Dilansir dari CDC, berikut beberapa gejala PCP yang sering dirasakan ODHA.
PCP didiagnosis menggunakan sampel dari paru-paru pasien. Sampel biasanya diambil dari lendir atau dahak yang dibatukkan pasien atau dikumpulkan dengan prosedur yang disebut lavage bronchoalveolar.
Terkadang, sampel kecil jaringan paru-paru (biopsi) digunakan untuk mendiagnosis PCP. Sampel pasien dikirim ke laboratorium untuk diperiksa di bawah mikroskop.
Selain itu, Polymerase chain reaction (PCR) juga dapat digunakan untuk mendeteksi DNA Pneumocystis dalam berbagai jenis sampel.
Orang dengan HIV/AIDS yang mengalami PCP harus segera mendapat pengobatan dan perawatan profesional. Pasalnya, jika dibiarkan PCP dapat menyebabkan kematian.
Bentuk pengobatan yang paling umum adalah trimetoprim atau sulfametoksazol (TMP/SMX), yang juga dikenal sebagai kotrimoksazol dan dengan beberapa nama merek yang berbeda, termasuk Bactrim, Septra, dan Cotrim.
Obat ini diberikan melalui oral atau melalui pembuluh darah selama 3 minggu.
Sejauh ini, belum ada vaksin yang ditujukan untuk mencegah Pneumocystis pneumonia. Ahli medis biasanya hanya meresepkan obat untuk mengontrol perkembangan gejala PCP.
Baca juga: Dapatkah Tertular HIV karena Seks Oral?
Mycobacterium avium complex (MAC) adalah sekelompok bakteri yang terkait dengan tuberkulosis. Bakteri ini sangat umum terdapat di makanan, air, dan tanah.
Hampir setiap orang memiliki sekelompok bakteri ini. Namun, hanya menimbulkan masalah saat seseorang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah, seperti penderita HIV.
MAC dapat menginfeksi salah satu bagian tubuh manusia, seperti paru-paru, tulang, atau usus. Dilansir dari WebMD, gejala MAC baru dirasakan saat bakteri telah menyebar ke seluruh tubuh. Berikut beberapa gejala MAC:
MAC dapat didiagnosis dengan pengambilan sampel urine, darah, sputum atau cairan kentar di saluran napas dan paru-paru, serta sumsum tulang.
Selain itu, diperlukan pula CT scan dada dan perut untuk membantu dokter mengetahui masalah kelenjar getah bening, hati, atau limpa.
Mycobacterium avium complex diatasi dengan terapi antiretroviral (ART). Ini tak hanya mengobati MAC, tetapi juga menjadi terapi untuk menyembuhkan HIV.
Terapi antiretroviral dimulai pada semua ODHA yang hamil dan menyusui, tanpa memandang stadium klinis WHO dan nilai CD4 dan dilanjutkan seumur hidup (sangat direkomendasikan, kualitas bukti sedang).
Baca juga: Mengenal Beda HIV dan AIDS
Kanker serviks invasif merupakan kanker yang dimulai dari leher rahim dan menyebar ke bagian lain dari tubuh. Diagnosis pasti kanker serviks invasif dilakukan dengan pemeriksaan histopatologi dengan biopsi.
Kanker serviks invasif biasanya ditandai dengan beberapa gejala berikut:
ODHA yang mengalami kanker serviks invasif harus segera mendapat penanganan sesegera mungkin karena dapat berakibat kematian.
Pilihan pengobatan kanker serviks invasif, antara lain pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi.
Pengobatan ini dapat memberi efek samping berupa infertilitas, menopause, hingga ketidaknyamanan atau nyeri dengan hubungan seksual.
Baca juga: Sejarah HIV/AIDS dari Masa ke Masa dan Asal-usulnya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.