SETIAP tanggal 16 November, dokter paru sedunia merayakan hari PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis). Merayakan untuk mengingatkan kembali kepada masyarakat mengenai penyakit paru ini.
COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease atau Penyakit Paru Obstruktif Kronis) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat global dan Indonesia.
PPOK adalah salah satu dari tiga penyebab kematian secara global dan terjadi pada 384 juta penduduk dunia. Di Indonesia berdasarkan Riskesdas 2013, total estimasi penderita PPOK adalah 3,7 persen.
Berdasarkan GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) tahun 2021, pengertian PPOK adalah:
Apa yang membedakan asma dan PPOK ?
PPOK terjadi ketika usia memasuki paruh baya dan gejala akan memburuk perlahan dan pasien PPOK mempunyai riwayat merokok tembakau atau paparan jenis asap/polusi lain.
Sedangkan asma terjadi seringkali sejak kecil dengan gejala yang bervariasi dari hari ke hari dan gejela memburuk saat malam/subuh. Pada pasien asma, alergi, rhinitis, dan/atau eksema juga muncul dan biasanya terdapat riwayat asma pada keluarga.
Bagaimana mendiagnosis PPOK?
Dalam mendiagnosis PPOK, dokter paru akan melihat gejala yang muncul, faktor risiko pasien dan pemeriksaan spirometri untuk menegakkan diagnosis. Gejala yang biasa muncul adalah napas pendek, batuk kronik berdahak.
Faktor risiko yang biasa dinilai adalah paparan terhadap asap rokok dan polusi udara serta jenis pekerjaan pasien apakah terpapar dengan asap atau tidak.
Dari gejala dan faktor risiko, dokter paru kemudian menegakkan diagnosis dengan pemeriksaan spirometri.
Pengobatan PPOK
Tujuan pengobatan PPOK yang stabil adalah: mengurangi gejala dan resiko. Mengurangi gejala untuk memperbaiki kemampuan beraktivitas dan memperbaiki status kesehatan.
Mengurangi risiko untuk mencegah perkembangan penyakit, mencegah serangan akut dan menurunkan risiko kematian.
Secara umum meliputi: edukasi, berhenti merokok, obat bronkodilator (seperti golongan antikolinergik, golongan agonis beta-2, kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2 serta golongan xantin), obat anti peradangan, antibiotic, antioksidan, mukolitik, antitusif dan penghambat phosphodiesterase-4.
Apabila dirasa perlu dapat diberikan terapi oksigen untuk mempertahankan oksigenisasi seluler dan mencegah kerusakan sel.
Diperlukan juga rehabilitasi respirasi pada PPOK yang bertujuan mengontrol dan mengurangi gejala dan komplikasi, mengoptimalkan status fungsional pasien, meningkatkan aktivitas dan partisipasi pasien dalam kehidupan sosial dan masyarakat serta menurunkan biaya perawatan kesehatan dengan menurunkan morbiditas atau dengan mencegah efek sistemik penyakit.
Pada PPOK dapat terjadi eksaserbasi, yaitu suatu kondisi akut yang ditandai dengan perburukan gejala respirasi dari variasi gejala normal harian dan membutuhkan perubahan terapi.
Eksaserbasi sering terjadi pada pasien PPOK yang dicetuskan oleh infeksi bakteri atau virus, polusi lingkungan atau faktor lain yang belum diketahui.
PPOK sering berdampingan dengan penyakit lain sebagai komorbid yang dapat berpengaruh secara signifikan terhadap prognosisnya.
Beberapa komorbid independen terhadap PPOK, sedangkan komorbid lainnya memiliki hubungan kausalitas.
Tata laksana secara komprehensif pada PPOK harus juga melakukan identifikasi serta terapi pada komorbidnya, baik komorbid tersebut memiliki hubungan atau tidak dengan PPOK.
Secara umum adanya komorbid tidak akan mengubah terapi PPOK dan berbagai komorbidnya diterapi sesuai pedoman masing-masing komorbid.
Yang diharapkan oleh pasien PPOK secara umum adalah keinginan untuk segera terbebas dari gejala, untuk menghindari serangan akut dan rawat inap serta keinginan untuk dapat beraktivitas harian.
Dalam masa pandemi seperti sekarang ini penderita PPOK yang memberikan gejala pernapasan yang baru atau perburukan, demam, dan/atau gejala lainnya yang mungkin berhubungan dengan COVID-19, biarpun ringan, sebaiknya dilakukan tes kemungkinan terinfeksi dengan SARS-CoV-2.
Pasien harus tetap minum obat-obat, baik yang oral maupin inhalasi untuk PPOK seperti yang dianjurkan karena tidak ada bukti bahwa obat PPOK harus diubah selama pandemi ini.
Terutama pada komunitas yang prevalensi COVID-19 tinggi, penggunaan spirometry harus dibatasi untuk pasien yang benar-benar membutuhkan untuk diagnose PPOK atau perlu untuk menilai fungsi paru.
Oleh karena itu, sebagai dokter paru, saya mengharapkan masyarakat untuk menghentikan paparan asap rokok tembakau dan polusi udara lainnya karena akan berdampak pada fungsi paru di masa tua nanti. Bebas asap rokok, Paru-paru kita akan lebih sehat pastinya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.