KOMPAS.com – Pemakaian label peringatan potensi mengandung Bisphenol A (BPA) pada kemasan air minum dalam kemasan (AMDK) menjadi perdebatan panas dalam beberapa waktu terakhir.
Perdebatan bermula ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Dalam beleid revisi, produsen AMDK wajib mencantumkan label peringatan “berpotensi mengandung BPA”.
“Pelabelan ini semata untuk perlindungan kesehatan masyarakat. Jadi, tidak ada istilah kerugian ekonomi,” tutur Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang, seperti diberitakan Kompas.com, Sabtu (4/6/2022).
Meski demikian, sejumlah pihak menyangsikan keputusan BPOM, serta menganggap kebijakan itu terkait persaingan bisnis AMDK.
Pada kesempatan itu, Rita pun menepis anggapan tersebut. Ia berkukuh bahwa BPOM hanya menginginkan produsen memasang stiker peringatan BPA.
Lantas, seberapa berbahaya kandungan BPA pada AMDK?
BPA merupakan bahan utama jenis plastik polikarbonat. Plastik jenis ini digunakan sebagai bahan baku galon isi ulang dan botol AMDK. Pada kondisi tertentu, BPA dapat bermigrasi dari kemasan ke air minum di dalamnya yang berdampak membahayakan kesehatan, terutama bagi ibu hamil dan anak.
Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Tidak Menular Pegurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr Agustina Puspitasari, SpOk, SubSup, BioKO(K) menjelaskan, paparan BPA umumnya memengaruhi fisiologi yang dikendalikan oleh sistem endokrin penghasil hormon dalam tubuh.
Dampak lainnya, paparan BPA dapat berpengaruh pada kelenjar prostat serta perkembangan otak pada janin, bayi, dan anak-anak.
“Penelitian lain juga menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara BPA dan peningkatan tekanan darah, obesitas, diabetes tipe dua, dan penyakit kardiovaskular. Untuk itu, penggunaan BPA seharusnya diatur dengan ketat,” katanya pada acara Expert Forum yang diadakan Universitas Indonesia (UI), Rabu (23/11/2022).
Baca juga: Riwayat BPA, Kini ada Kewaspadaan Penggunaan Plastik
Karena dampak tersebut, sejumlah negara di dunia menerapkan ambang batas migrasi BPA. Di Uni Eropa (UE), misalnya, sebelumnya ditetapkan ambang batas BPA adalah 0,6 bagian per juta (bpj) atau 600 mikrogram per kilogram. Kini, UE menurunkan menjadi 0,05 bpj.
Di Indonesia, ambang batas migrasi BPA dalam AMDK yang ditetapkan BPOM adalah 0,6 bpj. Bahkan, beberapa negara melarang BPA pada kemasan plastik, seperti Prancis dan Brazil.
Terkait aturan baru BPOM, dr Agustina pun memberi dukungan untuk mengatur pelabelan BPA pada kemasan AMDK yang mengandung atau berpotensi mengandung BPA.
“PB IDI pun sudah bersuara untuk mendukung pelabelan BPA pada kemasan plastik demi keamanan dan perlindungan kesehatan bagi masyarakat,” ucap dia.
Ia berharap, pemerintah, produsen, dan masyarakat bekerja sama untuk mengawasi serta menjaga penggunaan kemasan AMDK.
Dukungan serupa juga diutarakan ahli hukum perlindungan konsumen Henny Marlina. Ia mengatakan, pelabelan BPA pada produk AMDK dapat meningkatkan indeks konsumen untuk mampu mengenali hak dan kewajiban sehingga dapat menentukan pilihan konsumsinya.
“Dengan pemberdayaan konsumen, kemunduran dan kesejahteraan konsumen dapat dicegah,” ujar Henny pada acara yang sama.
Baca juga: Mengenal BPA dalam Kemasan Plastik dan 5 Efek Buruknya untuk Kesehatan
Pada kesempatan terpisah, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait juga menyampaikan dukungan atas penerbitan revisi beleid terkait pelabelan BPA. Arist menyampaikan bahwa produsen AMDK wajib membuat label peringatan bahaya BPA.
Bahkan, untuk meluluskan hal tersebut, pihaknya telah menulis surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo agar peraturan BPOM tersebut segera ditandatangani.
“Regulasi itu lahir untuk melindungi ibu dan anak-anak dari bahaya BPA,” ujar Arist pada diskusi publik “Bebaskan Anak-anak Indonesia dari Kemasan BPA yang Berbahaya” di Jakarta, Kamis (26/1/2023).
Arist pun menegaskan bahwa BPOM hanya meminta industri AMDK melabeli BPA dan bukan melarang untuk digunakan. Dengan demikian, menurutnya, tidak ada alasan untuk menolak regulasi yang baik bagi masyarakat ini.
Salah satu cara menghindari paparan BPA adalah mengonsumsi produk AMDK yang bebas BPA atau BPA free, seperti botol kemasan berbahan polyethylene terephthalate (PET) dengan kode 1.
Bahan plastik tersebut terbukti mampu menghalangi oksigen, air, dan karbon dioksida keluar atau masuk ke dalam kemasan. Plastik jenis ini juga tidak mudah rusak dan tahan suhu panas serta bisa didaur ulang sehingga aman digunakan sebagai minuman kemasan.
Hanya saja, botol kemasan berbahan PET tidak bisa digunakan berulang. Setelah selesai digunakan, pengguna wajib membuang ke tempat sampah atau menyetorkan ke pihak yang menerima daur ulang.
Baca juga: Aturan Baru BPOM soal Bahaya BPA Tak Kunjung Disahkan Jokowi, Komnas PA Heran
Berdasarkan studi yang dilakukan Sustainable Waste Indonesia (SWI), plastik berbahan PET dapat didaur ulang. Tingkat daur ulangnya mencapai 74 persen untuk botol PET dan 93 persen untuk galon PET.
“Kemasan plastik minuman ringan pascakonsumsi sudah memiliki rantai daur ulang yang mature (stabil). Jenis plastik PET adalah kemasan minuman ringan yang berkontribusi besar dalam daur ulang, mencapai 30 persen sampai 48 persen dari total penghasilan para pengumpul sampah,” tulis hasil penelitian tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.