Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/03/2023, 19:04 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

KOMPAS.com - Pasien gagal ginjal yang menjalani pengobatan cuci darah atau hemodialisis rentan mengalami anemia. Menurut data, lebih dari 50 persen pasien gagal ginjal kronis menderita anemia.

Dijelaskan oleh dr.Elizabeth Yasmine Wardoyo, Sp.PD-KGH, kriteria anemia adalah jika kadar hemoglobin (Hb) di bawah 13 untuk pria dan di bawah 12 untuk perempuan.

“Data dari Indonesia Renal Registry 2018 juga menunjukkan 78 persen pasien hemodialisis memiliki kadar Hb kurang dari 10,” kata dr.Elizabeth dalam webinar yang diadakan oleh PT.Etana Biotechnologies Indonesia bersama Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (4/3/2023).

Anemia pada pasien gagal ginjal disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain karena kekurangan zat besi, hingga kerusakan ginjal permanen menyebabkan tubuh tidak bisa lagi maksimal menghasilkan hormon erytropoetin (EPO).

Baca juga: Penyebab Anemia pada Gagal Ginjal Kronis yang Perlu Diketahui

EPO berfungsi untuk pembelahan dan pematangan sel darah merah dan sebagian besar EPO diproduksi di ginjal.

Pasien gagal ginjal kronik juga berisiko mengalami anemia karena umur sel darah merahnya pendek. Normalnya, sel darah merah berumur 120 hari, tetapi pada PGK hanya berumur 70-80 hari.

“Jika ditambah proses cuci darah, pengambilan darah berulang, perdarahan, menyebabkan kehilangan darah terus menerus membuat badan kekurangan zat besi dan anemia,” kata dokter dari RSUP Fatmawati Jakarta ini.

Dampak anemia

Sel darah merah berfungsi membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh, termasuk sel jantung. Karenanya, kekurangan oksigen pada jaringan tubuh membuat jantung bekerja lebih keras.

Gejala anemia yang sering dirasakan antara lain rasa lemas, mudah lelah, sakit kepala, pusing saat berubah posisi dari berbaring ke duduk atau duduk ke posisi berdiri, hingga sesak napas saat melakukan aktivitas ringan.

Baca juga: 15 Tanda-tanda Kematian Akibat Gagal Ginjal, Pantang Disepelekan

“Anemia pada pasien gagal ginjal bisa meningkatkan risiko infeksi, kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah, menurunkan kerja organ tubuh lain, serta mempercepat kerusakan fungsi ginjal sisa,” papar dr Elizabeth.

Untuk itu pasien gagal ginjal perlu mendapatkan terapi anemia mulai dari suplementasi zat besi, transfusi darah, hingga pemberian suntikan Erythropoiesis Stimulating Agent (ESA).

Menurut dr.Elizabeth suplementasi zat besi seringkali bukan pilihan yang tepat karena penyerapan kurang efektif akibat gangguan pada saluran cerna, serta menimbulkan efek samping seperti sembelit dan kembung.

Sementara itu, terapi ESA dapat memperlambat perburukan penyakit, menurunkan angka kesakitan dan kematian, serta memperbaiki kualitas hidup.

“ESA dapat diberikan kepada pasien gagal ginjal dengan indikasi Hb kurang dari 10 dengan syarat tertentu yang harus dipenuhi, serta tidak ada infeksi berat. Pasisen juga disarankan untuk diperiksa dulu kadar zat besinya,” katanya.

Penyutikan epo harus dilakukan secara rutin, masalahnya di Indonesia pemberian eritropetin belum tercakup dalam pembiayaan hemodialisa sehingga pemberian transfusi darah masih cukup banyak dilakukan.

Padahal dapat dikatakan transfusi darah memiliki banyak risiko apabila dilakukan kepada pasien cuci darah.

Baca juga: Mengenal Prosedur Cuci Darah untuk Pasien Gagal Ginjal

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com