Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudi Hartono
Penulis Lepas dan Peneliti

Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute

Tiga Pelajaran dari Sistem Kesehatan Kuba

Kompas.com - 03/08/2023, 11:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PRESTASI Kuba, negeri kecil di kepuluan Karibia, cukup mengesankan. Meskipun mengalami embargo selama lebih enam dekade, yang merugikan Kuba hingga sebesar 130 miliar dollar AS (Rp 1,963 triliun), negeri berpenduduk 11 juta jiwa itu punya sistem kesehatan terbaik di dunia.

Meskipun sering dicap negara miskin, Kuba sudah terbebas dari gizi buruk (UNICEF, 2006). Angka kematian bayi hanya 4,2 per 1000 kelahiran. Angka harapan hidupnya mencapai 78.86 tahun.

Dalam Legatum Prosperity Index 2013, skor kesehatan Kuba menempati peringkat ke-27 di dunia.

Pada 2014, Sekretaris Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Margaret Chan, menyebut sistem kesehatan Kuba sangat unggul dan efisien.

Sementara Sekjen PBB, Ban Ki-moon, menyebut sistem kesehatan Kuba sebagai contoh yang bagus untuk dunia.

Kuba bak mercusuar bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia, bahwa kesehatan yang maju tidak melulu hanya milik negara kaya.

Dalam urusan kesehatan, Kuba yang PDB-nya hanya 107 juta dollar AS tak kalah dengan AS yang 23,3 triliun dollar AS.

Karena itu, tak salah kalau Indonesia menoleh ke Kuba. Tuntutlah ilmu kesehatan sampai ke negeri Kuba.

Universal dan gratis

Mungkin banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, mencantumkan kesehatan sebagai hak dasar di Konstitusinya. Namun hanya sedikit yang benar-benar mewujudkannya.

Kuba adalah satu dari sedikit negara yang berhasil mewujudkan cakupan kesehatan yang benar-benar universal, yang bisa diakses oleh seluruh rakyatnya tanpa rintangan biaya dan diskriminasi.

Kuba menggratiskan semua layanan kesehatan publiknya. Itu berlaku untuk semua jenis layanan: preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dari diagnosisi hingga operasi berskala besar, tidak dipungut biaya sepeser pun.

Itu bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama, pascarevolusi 1959, Kuba menasionalisasi hampir semua layanan kesehatannya, termasuk rumah sakit dan klinik. Menariknya, meski di bawah kendali pemerintah, kualitas layanannya tidak ecek-ecek.

Kedua, layanan kesehatan Kuba didukung anggaran besar. Kuba mungkin miskin, tetapi negara ini tak pernah berhemat soal kesehatan dan pendidikan.

Sejak 1960, anggaran kesehatan Kuba tak pernah di bawah 6 persen dari PDB. Pada 2020, belanja kesehatan Kuba mencapai 12,49 dari PDB.

Bahkan, ketika tahun 1990-an sedang dililit krisis setelah runtuhnya Uni Soviet dan embargo AS, Kuba lebih memilih memangkas belanja militer ketimbang kesehatan dan pendidikan.

Jadi, penghapusan “mandatory spending” dalam UU Kesehatan yang baru, yang argumentasinya menyebut merujuk pada Kuba, sebetulnya kurang tepat. Faktanya, Kuba sangat jor-joran untuk pembangunan kesehatannya.

Mengutamakan pencegahan

Sistem kesehatan Kuba mengedepankan promotif dan preventif, ketimbang kuratif. Untuk mewujudkan itu, Kuba punya medicina general integral (MGI), pengobatan komprehensif dan terintegrasi). MGI menjadi garda depan sistem kesehatan Kuba.

Jadi, di setiap lingkungan atau komunitas di Kuba, semacam RT dan RW di Indonesia, ada yang disebut “consultorio”. Setiap consultorio terdiri dari dokter dan beberapa staf. Setiap consultorio melayani sekitar 1000-1500 pasien.

Untuk menopang consultorio, ada policlínicos yang siap melayani warga selama 24 jam. Policlinicos mirip dengan Puskesmas di Indonesia.

Policlinicos melibatkan tenaga kesehatan, dokter spesialis, dan sukarelawan terlatih. Mereka yang mempromosikan pola hidup sehat, pencegahan penyakit, melatih warga, hingga melakukan tindakan medis darurat.

Selain itu, Kuba punya yang disebut “dokter keluarga”. Kalau di banyak negara, termasuk Indonesia, pasien yang mendatangi dokter. Namun, Kuba melakukan yang berbeda: dokter yang mendatangi rumah-rumah pasien.

Dokter melimpah

Kuba punya dokter melimpah. Rasionya: 9 dokter untuk 1000 penduduk. Bandingkan dengan Indonesia, pada 2021, rasio dokternya masih 0,69 per 1000 penduduk.

Jumlah dokter yang melimpah itu tidak jatuh dari langit. Ada kebijakan yang disertai komitmen politik serius di balik capaian luar biasa itu.

Pertama, sejak 1961, Kuba menasionalisasi semua lembaga pendidikan swasta. Tidak terkecuali sekolah keperawatan dan kedokteran. Tak ada lagi sekolah swasta.

Kedua, pendidikan gratis di semua jenjang pendidikan, termasuk sekolah kedokteran. Tidak tanggung-tanggung, demi mencerdaskan kehidupan bangsanya, anggaran pendidikan Kuba tidak pernah di bawah 6 persen dari PDB.

Hasilnya, pendidikan kedokteran bukan lagi komoditas mewah dan ekslusif yang hanya bisa diakses oleh anak orang kaya atau keturunan elite.

Anak-anak dari keluarga miskin, terutama buruh dan petani, bisa mengakses pendidikan kedokteran secara gratis.

“Apa yang terjadi, jika dalam enam atau tujuh tahun, anak-anak dari pekerja dan petani menerima berbagai gelar profesional (dokter). Mereka akan berlari, dengan antusiasme yang tinggi, untuk membantu saudara mereka,” kata Che Guevara dalam “On Revolutionary Medicine”.

Ketiga, memperbanyak sekolah dokter dan perawat. Saat ini Kuba punya 24 fakultas kedokteran dan 40 sekolah keperawatan.

Selain itu, sejak 1999, Kuba mendirikan sekolah kedokteran berstatus internasional: Sekolah Kedokteran Amerika Latin (ELAM).

Pada 2019, ELAM sudah mewisuda 29.000 orang dari 105 negara. Pendidikan kedokteran di ELAM ini bersifat gratis.

Keempat, mempersingkat waktu studi dan internship. Pada masa-masa awal revolusi, ketika Kuba kekurangan tenaga kesehatan karena tak sedikit tenaga medis yang lari ke luar negeri, Kuba mengambil langkah-langkah darurat.

Kurikulum dipadatkan, demi mempersingkat masa studi. Masa internship juga dikurangi.

Di Indonesia, kekurangan tenaga kesehatan coba diatasi dengan pendekatan administratif: membenahi Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) agar tidak terbelit birokratisme dan bisnis perizinan. Tentu saja ini bagus, tetapi belum menghunjam ke jantung persoalan.

Di Indonesia, biaya pendidikan kedokteran bisa puluhan hingga ratusan juta rupiah. Sementara pendapatan 50 persen masyarakat lapisan bawah hanya Rp 22,6 juta per tahun atau Rp 1,9 juta per bulan (UNDP, 2022).

Hanya 10 persen masyarakat lapisan atas, yang rata-rata pendapatannya Rp 285 juta per tahun atau Rp 23,7 juta per bulan, yang sanggup mengakses pendidikan kedokteran.

Sebagaimana kesehatan yang merupakan hak dasar setiap warga Negara, pendidikan kedokteran juga seharusnya diletakkan sebagai hak setiap warga Negara yang tak boleh dirintangi oleh biaya pendidikan.

Tentu saja, sistem kesehatan Kuba bukan tanpa kelemahan. Banyak rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang menempati bagunan tua.

Gaji dokter dan tenaga kesehatan juga dianggap sangat kecil. Obat-obatan yang penting kadang sulit ditemukan.

Namun, persoalan tersebut bukan sepenuhnya kesalahan pemerintah Kuba, tetapi ada andil dari embargo yang dijalankan oleh pemerintah AS selama enam dekade. Embargo tak hanya mempersulit ekonomi Kuba, tetapi juga mendatangkan fasilitas kesehatan dan obat-obatan.

Namun, dari Kuba kita belajar: anggaran negara yang terbatas, jika dikelola dengan benar dan didorong oleh komitmen politik yang kokoh, bisa mendatangkan hasil luar biasa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau