Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bumi Kian Panas, Ini Suhu dan Kelembapan yang Bisa Ditoleransi Manusia

Kompas.com - 11/08/2023, 13:31 WIB
Mahardini Nur Afifah

Penulis

Sumber AFP

KOMPAS.com - Di tengah-tengah perubahan iklim yang ditandai dengan maraknya cuaca panas ekstrem, sejumlah ilmuwan berhasil mengidentifikasi suhu dan kelembapan udara yang bisa ditoleransi tubuh manusia.

Menurut ahli, orang dewasa dalam kondisi sehat hanya mampu bertahan di bawah ambang batas suhu 35 derajat Celsius dan kelembapan 100 persen, atau suhu 46 derajat Celsius dan kelembapan 50 persen, selama maksimal enam jam.

Pada kombinasi suhu, kelembapan, dan durasi di atas, keringat yang menjadi instrumen utama untuk menurunkan suhu inti tubuh, sudah tidak mampu lagi menguap dari kulit.

Kondisi ini bisa menyebabkan heat stroke atau serangan panas, gagal multi-organ, sampai kematian.

Baca juga: 8 Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan

Titik kritis kombinasi suhu dan kelembapan yang dapat ditoleransi manusia ini disebut para ahli dengan istilah “wet bulb temperature” alias suhu bola basah.

“Wet bulb temperature pernah terjadi belasan kali, sebagian besar di wilayah Asia Selatan dan Teluk Persia,” kata Colin Raymond dari Jet Propulsion Laboratory NASA kepada AFP, Selasa (8/8/2023).

Raymond yang memimpin riset ini membeberkan, tidak ada kematian massal dari serentetan kejadian tersebut. Pasalnya, kejadiannya berlangsung kurang dari dua jam.

Untuk diketahui, kejadian wet bulb temperature beberapa tahun terakhir dipengaruhi fenomena alam seperti El Nino dan peningkatan suhu permukaan laut.

Baca juga: DBD Merebak Dampak Perubahan Iklim, Kok Bisa?

Waspada cuaca panas yang mematikan

Meskipun sudah ada rambu-rambu suhu dan kelembapan udara maksimal yang bisa ditoleransi tubuh manusia, menurut Raymond, ambang batas panas ekstrem terkadang bisa berbeda-beda pada setiap orang.

Hal itu tergantung pada usia, kondisi kesehatan secara umum, faktor sosial dan ekonomi, dll.

Sebagai gambaran, lebih dari 61.000 orang dilaporkan meninggal dunia karena gelombang panas di Eropa tahun lalu.

Pada waktu itu, cuaca sangat panas, namun menurut ahli, tingkat kelembapan udaranya masih di bawah titik kritis wet bulb temperature yang dianggap membahayakan nyawa manusia.

 

Seiring meningkatkan suhu global, di mana pada 3 Juli 2023 lalu menjadi rekor baru suhu Bumi terpanas yang mencapai 17,01 derajat Celcius, para ahli mewanti-wanti agar kita lebih waspada ke depan semakin banyak kasus kematian akibat cuaca panas.

Menurut catatan Raymond bersama timnya, frekuensi kejadian gelombang panas yang mematikan meningkat dua kali lupat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir.

“Peningkatkan frekuensi kejadian ini bisa jadi alarm bahaya serius dari perubahan iklim,” ujar Raymond.

Peneliti lain dari Pennsylvania State University AS Daniel Vecellio memperkirakan, dengan kondisi perubahan iklim yang tengah terjadi, beberapa wilayah di bumi bakal mencapai wet bulb temperature yang berbahaya dalam waktu lima sampai tujuh tahun mendatang.

Baca juga: 12 Akibat Cuaca Panas pada Kesehatan dan Tip Mengatasinya

Kelompok yang paling berisiko dengan cuaca panas

Peneliti wet bulb temperature di kawasan Asia Selatan Joy Monteiro melalui risetnya di jurnal Nature mengungkapkan, sebagain besar gelombang panas yang mematikan di wilayah risetnya berada di bawah ambang batas suhu yang bisa ditoleransi manusia, alias di bawah 35 derajat Celsius.

Dari studi tersebut, fakta bahwa batas daya tahan tubuh manusia terhadap cuaca panas bisa sangat berbeda-beda bagi setiap orang menjadi lebih gamblang.

Dokter sekaligus penasehat kesehatan dari organisasi nirlaba Save the Children Ayesha Kadir menyebutkan, secara umum ada beberapa kelompok rentan terhadap cuaca panas.

“Anak-anak, kalangan lansia, dan orang yang intens beraktivitas di luar ruangan saat cuaca panas ekstrem adalah kelompok paling berisiko,” kata dia.

Menurut Kadir, tubuh anak-anak belum mampu mengatur perubahan suhu tubuh ekstrem laiknya orang dewasa sehat. Sedangkan kalangan lansia, jumla kelenjar keringatnya berkurang signifikan seiring bertambahnya usia.

“Hampir 90 persen kematian akibat cuaca panas di Eropa pada musim panas lalu terjadi pada orang yang berusia di atas 65 tahun. Anak-anak kecil juga rentan karena kurang mampu mengatur suhu tubuhnya,” jelas Kadir.

Selain kelompok rentan di atas, orang yang punya kendala ekonomi, seperti tidak bisa mengakses air minum dan toilet, juga berisiko mengalami dehidrasi.

“Seperti dampak perubahan iklim lainnya, orang yang paling tidak mampu melindungi diri dari perubahan iklim ekstrem inilah yang paling jadi korban nantinya,” kata Raymond.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau