Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Ade Iva Murty, Msi
Dean Faculty of Arts and Science, Sampoerna University

Dean Faculty of Arts and Science, Sampoerna University

Tantangan Indonesia Emas 2045: Menciptakan Generasi Sehat Mental

Kompas.com - 23/03/2024, 15:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Berdasarkan laporan dari World Population Review, 9 juta penduduk Indonesia atau 3,7 persen dari populasi, menderita depresi. Bahkan setiap jam, seseorang di Indonesia melakukan bunuh diri.

Selain itu, 3,4 kasus bunuh diri per 100.000 orang di Indonesia telah dilaporkan oleh lembaga tersebut.

Sementara itu, laporan dari organisasi nirlaba Our Better World yang mengutip dari data Kementerian Kesehatan RI juga menunjukkan bahwa 16 juta orang (6 persen) berusia 15 tahun ke atas telah menunjukkan gejala kecemasan atau depresi, dan sekitar 400.000 orang (1,72 persen) hidup dengan penyakit yang lebih parah seperti psikosis.

Sekitar 19 persen remaja Indonesia pernah mempunyai pikiran untuk bunuh diri, dan 45 persen di antaranya mengaku melakukan tindakan menyakiti diri sendiri.

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia (sekitar 270 juta orang), namun hanya memiliki sekitar 800 psikiater (0,3 psikiater per 100.000), 450 psikolog, dan 48 fasilitas kesehatan mental. Di sini terdapat celah yang bisa menghamat terbentuknya generasi unggul pada 2045.

Kedua, aspek pencegahan menentukan sejauh mana tingkat kedalaman persoalan gangguan kesehatan mental akan menjadi masalah yang menuntut penyelesaian secara holistik dan mendasar.

Pencegahan terhadap prevalensi gangguan kesehatan mental harus melibatkan seluruh masyarakat, khususnya institusi-institusi yang memang berhubungan langsung dengan masyarakat, misalnya sekolah, universitas, kantor pelayanan pemerintah, rumah ibadah, termasuk media massa.

Pada unit terkecil, yaitu keluarga, kesehatan mental dapat ditanamkan melalui berbagai intervensi sosial dan budaya yang akan menjadikan keluarga sebagai tempat kembali yang nyaman, memberdayakan dan membantu individu merealisasikan potensinya seoptimal mungkin.

Persoalannya adalah, kesehatan mental di Indonesia yang dipublikasikan dalam jurnal Global Health Neurology and Psychiatry (JoGHNP) menghadapi tantangan besar berupa rendahnya ketersediaan tenaga profesional, rendahnya pendanaan, dan tingginya kesenjangan pengobatan.

Di daerah pedesaan dan pinggiran kota, kurangnya pengetahuan, stigma, dan sulitnya akses terhadap layanan kesehatan mental menyebabkan terjadinya pengurungan dan pengurungan kembali.

Di sisi lain, kaum muda di perkotaan mengalami peningkatan tingkat gangguan mental yang umum, seperti depresi dan kecemasan, yang dipercepat oleh pandemi dan lebih mengkhawatirkan kesehatan mental mereka.

Ketiga, WHO menyatakan bahwa gangguan kesehatan mental yang paling sering muncul di tengah keluarga dan masyarakat adalah anxiety dan depression.

Anxiety merupakan kecemasan yang membahayakan, berbeda dari kecemasan biasa. Kecemasan intensif dan berlebihan sehingga mengganggu fisiologis seseorang, menurunkan tingkat produktivitas kerja dan belajar.

Menjadikan seseorang terhambat dalam mencapai target-target yang telah ditetapkan sebelumnya.

Depresi merupakan gangguan kesehatan mental dan fisik yang memengaruhi bagaimana orang berpikir, merasa dan bertindak, sehingga menurunkan ketertarikan seseorang terhadap aktivitas dan terjadi berlarut-larut selama beberapa hari hingga berbulan-bulan.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau