Laporan itu menyatakan, AI mampu memprediksi apakah seseorang bersedia divaksinasi COVID-19. Sistem prediktif, menggunakan sekumpulan kecil data dari demografi, dan penilaian pribadi seperti keengganan terhadap risiko atau kerugian.
Temuan ini dapat diterapkan secara luas dalam memprediksi kesehatan mental dan menghasilkan kampanye kesehatan masyarakat yang lebih efektif.
Tim peneliti di Universitas Cincinnati dan Universitas Northwestern membuat model prediktif menggunakan sistem persamaan matematika terintegrasi.
Mereka menggambarkan pola dalam penilaian penerimaan dan penolakan dengan pembelajaran mesin. Dengan menggunakan sejumlah kecil variabel, dan sumber daya komputasi minimal, dalam membuat prediksi.
Para peneliti mensurvei sejumlah 3.476 orang dewasa di seluruh Amerika Serikat, pada tahun 2021 selama pandemi COVID-19. Sebagai catatan, saat survei dilakukan, vaksin pertama telah tersedia selama lebih dari satu tahun.
Peserta ditanya, apakah mereka telah menerima salah satu vaksin COVID-19 yang tersedia. Sekitar 73 persen responden mengatakan mereka telah divaksinasi. Ini sedikit lebih banyak dari 70 persen populasi negara yang telah divaksinasi pada tahun 2021.
Selanjutnya mereka ditanya, apakah mereka secara rutin mengikuti empat anjuran yang dirancang untuk mencegah penyebaran virus: mengenakan masker, menjaga jarak sosial, mencuci tangan, dan tidak berkumpul dalam kelompok besar.
Penelitian dengan menggunakan berbagai variabel penilaian, dan variabel demografi ini, membandingkan responden yang divaksinasi dan tidak.
Tiga pendekatan pembelajaran mesin digunakan untuk menguji seberapa baik penilaian, demografi, dan sikap responden terhadap tindakan pencegahan COVID-19, dalam memprediksi apakah mereka akan mendapatkan vaksin.
Singkatnya, studi ini menunjukkan, AI dapat memprediksi secara akurat terkait sikap manusia. Tentu dengan data yang sangat sedikit atau ketergantungan pada penilaian klinis yang mahal dan memakan waktu.
Para peneliti menemukan bahwa sekelompok kecil variabel demografi dan lima belas variabel penilaian memprediksi penggunaan vaksin dengan akurasi sedang hingga tinggi dan presisi tinggi.
Dengan pendekatan pembelajaran mesin big data, penelitian saat ini dapat dilakukan dengan menggunakan variabel yang lebih sedikit, namun dapat lebih diinterpretasikan.
Studi ini mereka sebut sebagai "anti-data besar,” bisa bekerja dengan sangat sederhana. Tidak memerlukan komputasi super, murah, dan dapat diterapkan oleh siapa saja yang memiliki smartphone. Mereka menyebutnya sebagai AI kognisi komputasional.
Penelitian ini menunjukan bahwa AI dapat secara signifikan dimanfaatkan untuk sektor kesehatan.
Namun demikian, dapat saya kemukakan bahwa AI di bidang Kesehatan secara global dikategorikan sebagai AI berisiko tinggi karena terkait langsung dengan kesehatan dan keselamatan manusia.
Oleh karena itu, membuat regulasi dan kebijakan terkait AI di bidang kesehatan, disertai mitigasi risikonya, dengan merujuk pada Pedoman WHO menjadi hal yang perlu dilakukan.
Pedoman WHO dimaksudkan sebagai dasar dan prinsip-prinsip utama yang dapat diikuti oleh pemerintah dan regulator dalam membuat regulasi tentang AI di tingkat nasional.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.