Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/07/2024, 10:30 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Khairina

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.com – Sama seperti beberapa hari sebelumnya, Margaretha Wuri Ratriana (32) siang itu menyiapkan sepiring kimbab untuk putranya, Askara Kaivan Heryunanto (6).

Begitu makanan khas Korea tersebut diletakkan di meja, Askara pun segera melahapnya.

Dengan tangan kosong, ia terus mendekatkan kimbab ke mulutnya. Mata kecilnya berbinar. Bocah TK itu terlihat menikmati setiap sentuhan makanan di gigi dan lidahnya.

Baca juga: Saat Ketua RT/RW di Solo Keroyokan Ajak Warga Daftar JKN-KIS

Pada satu kesempatan, Askara tiba-tiba melibatkan tangan kirinya. Ia berusaha memisahkan lilitan nasi dan rumput laut panggang dari isian wortel, mentimun, dan telur.

Askara tampak ingin makan potongan kimbab terakhirnya itu dengan lebih perlahan. Setelah menikmati tekstur kenyal berpadu renyah dari nasi dan nori, ia giliran memberangus sayur dan lauk.

Di sebelahnya, Retha memandang putranya itu dengan perasaan haru. Melihat Askara kini bisa menikmati makanan dengan lahap setelah berbagai kesulitan yang dilalui, menjadi momen yang sangat membahagiakan baginya.

”Dulu lihat nasi saja Askara bisa nangis-nangis sampai muntah. Lihat bapak atau ibunya makan (nasi), pasti piring kami coba dia raih dan lempar. Tapi sekarang? Tanpa makan nasi, tidurnya malah tidak tenang," cerita Retha sambil tersenyum, saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Rabu (24/7/2024).

Warga Kelurahan Sudiroprajan, Jebres, Solo, itu ingat betul, putranya baru mau mulai mencoba makan nasi pada Oktober 2023. 

Retha meyakini Askara tak mau mengonsumsi nasi dan beberapa jenis makanan lainnya sebelum itu karena memang sempat dilarang. Askara mungkin sedih atau marah.

Sejak usia 3 bulan hingga 2 tahun, Askara bagaimanapun harus makan dan minum lewat nasogastric tube (NGT), yakni selang khusus yang dimasukkan dari hidung ke lambung.

”Tiap pekan dulu kami harus bolak-balik ke RS untuk ganti NGT Askara. Jika ada ’drama’, kami malah bisa lebih sering. Misalnya, Askara tak sengaja melepasnya karena tak nyaman, anak-anak kan belum paham ya. Bahkan, dia pernah lepas NGT pas baru sampai di rumah. Terkadang hidungnya juga tiba-tiba ngucur darah,” kenangnya.

Baca juga: Sindrom Treacher Collins: Gejala, Penyebab, dan Penanganannya

Retha menjelaskan, Askara telah didiagnosis mengidap penyakit langka treacher collins syndrome (TCS), yakni kelainan genetik yang memengaruhi bagian kepala, saluran napas, dan tenggorokan.

Sejumlah gejala yang dimiliki Askara, termasuk posisi mata miring ke bawah, ukuran rahang kecil, dan terdapat lubang di langit-langit mulut.

Karena kondisi itu, Askara sudah menjalani tiga kali operasi atas perintah dokter. Operasi pertama dan kedua ditujukan untuk menutup celah di langit-langit mulut ketika ia berusia 13 bulan dan 18 bulan. Sementara, operasi pencabutan 15 gigi dilakukan tahun lalu.

Di awal-awal kelahiran, Askara pernah pula didiagnosis patent ductus arteriosus (PDA). Beruntung, masalah jantungnya itu berhasil disembuhkan hanya dengan intervensi obat.

Selain itu, Askara sempat dinyatakan mengalami anemia defisiensi besi (ADB) pada usia 6 bulan, yang mengharuskannya diberi suplemen zat besi selama 10 bulan dan menjalani transfusi darah tiga kali. Ia juga pernah didiagnosis pneumonia yang mengharuskannya dirawat di rumah sakit.

Pada tahap ini, Retha pun merasa sangat bersyukur telah mengambil langkah tepat dengan mendaftarkan Askara ke dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak masih berada di kandungan. 

Dengan begitu, perawatan medis, operasi, pemasangan NGT, dan rehabilitasi medik yang dibutuhkan putranya sedari lahir hingga sekarang dijamin oleh BPJS Kesehatan.

Baca juga: Treacher Collins Syndrome (TSC)

”BPJS telah memfasilitasi Askara berkenalan dengan banyak dokter hebat di tujuh RS di Solo Raya. Ada dokter spesialis anak, endokrin, jantung, paru, bedah mulut, hingga THT. Ia juga telah dipertemukan dengan para terapis yang sabar. Dengan begitu, Askara bisa tumbuh dengan lebih baik. Anak spesial kami kini jadi doyan makan, antusias bersekolah, aktif ke sana ke mari. Ini jelas sangat berarti bagi kami. Kami pun jadi lebih bersemangat untuk bisa membersamainya,” ungkap Retha.

Askara pada mulanya terdaftar sebagai peserta JKN dari tanggungan sang ayah. Namun, setelah Retha dan suami memilih resign sebagai karyawan swasta untuk fokus merawat Askara, mereka kini menjadi peserta segmen penerima bantuan iuran (PBI).

”Kami bersyukur BPJS mengusung skema gotong royong. Skema ini memberi kesempatan kita untuk bisa saling membantu dan peduli terhadap sesama. Kami juga punya kesemangatan untuk bisa menjadi peserta (segmen) mandiri,” tutur mantan karyawan perusahaan farmasi yang kini berusaha menggeluti bisnis jualan online itu.

Sementara itu, saat disinggung soal pengalaman mendampingi Askara mengakses pelayanan kesehatan di klinik maupun di RS sebagai peserta JKN, Retha bersaksi tak pernah mengalami diskriminasi. Lebih puas lagi, ia merasa fasilitas kesehatan terus berbenah di era JKN.

Warga Kelurahan Sumber, Banjarsari, Solo, Indri Hastuti (45), juga merasakan betul manfaat dari JKN. Ia jadi tak perlu mengkhawatirkan biaya pengobatan penyakit jantung putrinya, Sherly (23).

”Ketika (Sherly) didiagnosis ada masalah di jantungnya, tentu saya kaget. Untunglah saat itu kami sudah terdaftar BPJS. JKN ini memang sangat penting diikuti untuk mempersiapkan diri menghadapi berbagai risiko kesehatan,” tuturnya.

Meski keluarganya hanya terdaftar sebagai peserta JKN kelas 3, Indri menyaksikan para tenaga kesehatan di RSUD tetap memberikan pelayanan optimal kepada putrinya.

Ketua Paguyuban Kader Posyandu Kelurahan Mojosongo, Jebres, Sri Wahyuni (55), bercerita karena paham betul akan manfaat JKN, para kader di Mojosongo telah bersepakat untuk terus memantau status kepesertaan BPJS warga di wilayah masing-masing.

“Kalau sampai ada warga yang belum daftar JKN atau status kepeserataannya tidak aktif lagi, kader Posyandu biasanya akan langsung berinsisiatif mendampingin mereka dalam proses pembuatan atau pengaktifan kembali,” tuturnya.

Baca juga: 4 Tanda Penyakit Langka pada Anak yang Harus Diwaspadai Orangtua

Bidik semua warga

Sekretaris Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo, Setyowati, menegaskan setiap warga memang harus terkover program JKN. Dengan begitu, warga jadi bisa mendapatkan layanan kesehatan kapan saja tanpa harus memikirkan biaya pengobatan. 

Mengingat pentingnya JKN, Pemkot pun selama ini terus berusaha menyisir warga Kota Bengawan yang belum terdaftar program tersebut. 

Jika mendapati warga kurang mampu belum tergabung JKN, Pemkot akan berusaha sesegera mungkin menjadikan mereka sebagai peserta segmen PBI ABPD atau APBN. Sedangkan bagi warga yang tergolong mampu, akan didorong menjadi peserta mandiri.

Dalam upaya mendorong cakupan kepesertaan JKN ini, Pemkot juga sudah melakukan sejumlah inovasi lain. Itu termasuk, kantor kelurahan bisa melayani pendaftaran JKN PBI APBD, penyediaan “BPJS Keliling” di Balai Kota setiap Jumat, dan bikin aplikasi ”SI PUKIS” untuk permudah tracking pengajuan JKN PBI APBD.

Di samping itu, Pemkot telah intens berkoordinasi dengan badan usaha, serta menggandeng pengurus RT/RW, PKK, Posyandu, Karang Taruna untuk mendata kepesertaan dan menyosialsiasikan JKN di setiap pertemuan warga.

”Intinya, penting untuk kita semua ’sedia payung sebelum hujan’. Musibah sakit kan tak bisa diprediksi kapan datangnya. Nah, untuk meringankan biaya pengobatan, mari seluruh warga saling bergotong royong membantu dengan mendaftarkan diri menjadi peserta JKN," imbaunya.

Setyowati pun bersyukur, tingkat kepesertaan JKN di Solo sejak 2018 hingga kini bisa terjaga melebihi target universal health coverage (UHC) 85 persen.

Data per Juni 2024 bahkan menunjukkan angkanya mencapai 98,31 persen dari 587.646 penduduk.

Baca juga: Deteksi Dini Bantu Pengidap Penyakit Langka Hidup Normal

”Di era JKN ini, kualitas pelayanan di faskes kan juga terus meningkat, berkat ketetapan standar dari BPJS. Saya rasa tawaran rasa nyaman ini turut mendorong capaian tinggi kepesertaan JKN di Solo,” tuturnya.

Kepala BPJS Kesehatan Cabang Solo, Debbie Nianta Musigiasari, mengapresiasi kesadaran tinggi dari berbagai pihak di Kota Bengawan dalam mendukung program JKN, termasuk oleh masyarakat umum, para pengusaha, maupun Pemkot.

Ia pun berharap inisiatif warga, kepatuhan pengusaha, dan keaktifan pemerintah daerah di Solo itu dapat dicontoh daerah lain.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau