DIABETES dan hipertensi, dua penyakit yang dulu dianggap sebagai "penyakit orang kaya", kini menjadi keniscayaan yang ironis di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
‘Kemajuan’ gaya hidup, seperti kata-kata yang terukir di neon box pusat perbelanjaan, bukan hanya membawa hujan dollar melalui konsumerisme yang merajalela, tetapi juga berbagai penyakit metabolik yang mematikan.
Dari warung kopi pinggir jalan hingga meja makan di rumah mewah, dari pedesaan yang asri hingga perkotaan yang sumpek, diabetes dan hipertensi melenggang tanpa pandang bulu, seolah-olah menjadi bagian tak terpisahkan dari menu masyarakat modern.
Perubahan pola makan ini tercermin dalam data statistik yang mengejutkan. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi diabetes melitus di Indonesia naik dari 6,9 persen pada 2013 menjadi 8,5 persen pada 2018.
Sementara prevalensi hipertensi meningkat dari 25,8 persen menjadi 34,1 persen dalam periode yang sama.
Fenomena ini tidak terlepas dari meningkatnya konsumsi kalori per kapita yang tercatat sebesar 2.878 kkal per hari pada 2019, melebihi angka yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Lonjakan ini diikuti pertumbuhan cepat pasar makanan cepat saji, yang pendapatannya di Indonesia diproyeksikan meningkat sebesar 11,5 persen per tahun antara 2018 dan 2023.
Tak hanya berdampak pada peningkatan angka penyakit tidak menular, pola konsumsi ini juga mengubah komposisi belanja rumah tangga.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, belanja untuk makanan dan minuman cepat saji menduduki porsi yang semakin besar dari pengeluaran keluarga.
Ironisnya, di tengah kemewahan akses ke makanan instan, konsumsi buah dan sayur masyarakat masih jauh dari cukup.
WHO merekomendasikan konsumsi buah dan sayur minimal 400 gram per hari. Namun menurut Riskesdas, rata-rata konsumsi harian buah dan sayur masyarakat Indonesia hanya 239 gram.
Ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara gaya hidup modern yang serba cepat dengan kebutuhan dasar nutrisi seimbang, memperlihatkan paradoks mendalam dalam 'kemajuan' kita.
Meski informasi mengenai cara hidup sehat kian melimpah di internet, paradoksnya, pengaruhnya terhadap perubahan perilaku kesehatan di Indonesia masih terbatas.
Menurut data Kementerian Kesehatan RI pada 2023, hanya sekitar 30 persen populasi yang aktif mencari informasi kesehatan yang dapat dipercaya. Sisanya, lebih banyak terpengaruh oleh iklan atau informasi yang sesaat dan tidak mendalam.
Bahkan dalam survei sama, ditemukan bahwa 65 persen masyarakat tidak merasa perlu mengubah gaya hidup mereka meski sudah mengetahui risiko kesehatan seperti diabetes dan hipertensi.