KOMPAS.com - Sutarti, wanita kelahiran 1926, sempat merasakan pendidikan zaman Belanda di Hollandsch Inlandsche School (HIS).
Tumbuh besar dengan pendidikan yang keras dan tegas, membuatnya menjadi pribadi yang disiplin, gesit, dan rapi.
Sutarti, yang hobi berpergian, selalu berdandan necis setiap kali dirinya akan keluar rumah.
Kebiasaan itu berlanjut sampai ia sudah menjadi ibu dari 11 anak dan memiliki banyak cucu.
Apalagi, dirinya sempat mengikuti pendidikan khusus wanita, yang melatih ketrampilan menjahit, mencuci baju, memasak, dan berdandan yang pantas.
Wanita asal Nganjuk, Jawa Timur ini menjadi sosok yang mendisiplinkan anak dan cucunya. “Rambutmu sudah panjang, potong!” ucap Annisa Mukti (31), menirukan perintah eyang putri ke cucu laki-lakinya.
Baca juga: Bagaimana Keluarga Harus Merawat Penderita Alzheimer? Ini Kata Psikiater...
Sekitar tahun 2006, ketika masuk usia 80 tahun, perubahan perilaku mulai terlihat dari eyang putri.
Yang paling terlihat adalah eyang putri tidak suka tampil necis lagi untuk keluar rumah.
“Ibu itu kalau pergi-pergi pasti rapi. Keluar (rumah) saja pakai sandal rapi. Tapi, akhir-akhir itu, keluar rumah cuma pakai daster, celana,” ujar Esti Novi (67), anak ketiganya, di Semarang kepada Kompas.com pada Sabtu (14/9/2024).
Seiring waktu, eyang putri semakin melupakan banyak hal. Lupa sudah makan, lupa menaruh gigi palsunya, lupa di mana dompetnya, dan karena pikunnya itu, sering muncul rasa curiga eyang putri ke keluarganya.
Puncaknya di suatu siang, eyang putri yang berniat ingin pergi beli cincin emas naik angkutan umum, justru tersesat di perumahan karyawan yang berjarak sekitar 6,3 kilometer dari rumahnya.
Eyang putri mudah ditemukan, berkat ia yang masih suka membawa blocknote, berisi nomor telpon sanak keluargnya, di dalam tas.
Baca juga: Apa Saja Perawatan yang Dibutuhkan Penderita Alzheimer? Ini Kata Psikiater...
Novi sekeluarga serta kakak-adiknya menjadi semakin curiga dengan kondisi eyang putri.
Sempat muncul anggapan dari sebagian anggota keluarga bahwa penyebab kondisi eyang yang sudah 80-an tahun itu karena hal supranatural.
Namun, pada akhirnya, eyang putri dibawa ke dokter spesialis saraf dan psikiater.
Melalui CT-scan diketahui saraf di otak eyang putri mengalami pengerutan, kemudian oleh psikiater dinyatakan mengalami Alzheimer, penyakit yang masih asing bagi semua anggota keluarga.
Baca juga: Penyakit Alzheimer Akan Jadi Pencuri Bahagia di Masa Tua
Sejak didiagnosis Alzheimer, eyang putri rutin mengonsumsi obat dari dokter saraf dan psikiater serta harus medical check up setiap bulannya.
Dukungan keluarga juga didapat eyang putri dengan mengobrol dan ditemani jalan-jalan di kompleks rumah sesekali.
Namun, gangguan memori, perilaku, dan kepribadian eyang putri tetap bertambah parah diikuti dengan munculnya halusinasi dan delusi.
Novi mengatakan, ibunya lupa hal-hal yang baru terjadi, tetapi lebih ingat kejadian masa lalu.
“Bapakku dikira bapaknya eyang, ‘bapak ikut’, bapakku diikuti kemana saja,” ucap Annisa.
“Ibuku, dipanggil ibu. Kalau pulang kerja, selalu disambut, ‘Ya Allah ibu, aku tunggu’,” tambah Annisa.
Sementara, sambil tertawa geli Novi bercerita, “Ibu minta ditelponkan suaminya yang sudah meninggal. Saya pura-pura telpon dan bilang bapak sedang pergi.”
“Paling parah Dita,” ucap Annisa sepotong. Dita adalah keponakan dari suami Novi, ayah dari Annisa.
Saat itu, siang di rumah hanya ada Dita yang berniat hati datang untuk menemani eyang putri di saat yang lain kerja dan kuliah.
Namun, ia justru diteriaki maling oleh eyang putri. Berkali-kali Dita menjelaskan, tapi tidak dipahami.
Anak SMP itu pun menjadi menangis, ketika tetangga mulai berdatangan mendengar teriakan eyang putri yang masih bersikeras mencurigainya maling.
Kecurigaan eyang putri hilang ketika suami Novi mengangkat telpon tetangga dan menjelaskannya.
Baca juga: Apa Penyakit Alzheimer Hanya Menyerang Orang Tua? Ini Kata Psikiater...
Novi mengatakan bahwa hasil medical check up eyang putri secara keseluruhan selalu menunjukkan hal yang positif, sistem metaboliknya sehat, seperti gula darah, tekanan darah, dan kolesterol.
Namun, eyang putri terkena osteoporosis, yang semakin lama membuatnya tidak bisa berjalan setelah sempat jatuh.
Setiap hari setelah itu, eyang putri yang dulu suka berpergian dan dandan necis, hanya menghabiskan waktu di atas kasur hingga muncul luka baring.
Ia menunggu anggota keluarga atau caregiver untuk datang membersihkan badannya atau memberikan makanan, minuman, serta obat.
Novi dan Annisa mengaku keluarga mereka merasakan betul susah payah, secara fisik, mental, dan fianansial, dalam merawat penderita penyakit Alzheimer.
Meski telah menggunakan Askes (asuransi kesehatan), eyang putri membutuhkan home visit dari rumah sakit secara berkala, yang perlu merogoh kocek tambahan.
Pada 2014, eyang putri necis ini meninggal dunia di usianya yang ke-88 tahun.
Baca juga: Kenali Apa Itu Penyakit Alzheimer, Penyebab, dan Gejalanya
Meski berat saat menemani perawatan eyang putri yang menderita penyakit Alzheimer dan komplikasinya, Novi dan Annisa mengenang pengalaman itu sebagai cerita lucu penuh pelajaran.
Annisa yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi menyadari bahwa Alzheimer masih akan menjadi momok di keluarganya, karena salah satu faktor risiko yang tidak bisa diubah adalah gen yang diturunkan.
Oleh karenanya, ia berusaha memotivasi ibunya sekaligus dirinya sendiri untuk berusaha menjaga gaya hidup sehat, sebagai faktor risiko Alzheimer yang bisa dikendalikan.
"Sekarang ini sudah mulai menjaga pola hidup sehat, aktif renang dan senam, makan juga mulai dijaga," ujar Annisa menceritakan aktivitas ibunya saat ini.
"Ibuku juga masih aktif bersosialisasi ketemu temen-temennya sih," imbuhnya.
Kisah Sutarti hanyalah potret kecil dari pengidap demensia Alzheimer di Indonesia.
Penyakit tidak menular ini memiliki prevalensi sekitar 27,9 persen di Indonesia dengan lebih dari 4,2 juta penduduk menderita demensia, menurut penyataan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada 2023.
Dr. Lahargo Kembaren,SpKJ, yang dihubungi Kompas.com pada Kamis (12/9/2024) mengatakan bahwa Alzheimer adalah penyakit yang membuat sel-sel saraf (neuron) di otak menjadi rusak, sehingga struktur dan fungsinya menjadi terganggu.
Ini merupakan penyakit progresif yang mengakibatkan perubahan tidak normal pada otak yang mengatur pikiran, sikap, perilaku, dan perasaan.
“Demensia Alzheimer merupakan gangguan kejiwaan dan kalau boleh saya bilang ini adalah pencuri masa tua yang bahagia,” kata Lahargo.
“Masa tua tidak harus mengalami Alzheimer. Sehingga, slogannya adalah jangan maklum dengan pikun,” imbuhnya.
Baca juga: Peneliti: Banyak Lemak Visceral Tingkatkan Risiko Penyakit Alzheimer
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.