Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Noerolandra Dwi S
Surveior FKTP Kemenkes

Menyelesaikan pascasarjana FKM Unair program studi magister manajemen pelayanan kesehatan. Pernah menjadi ASN di Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban bidang pengendalian dan pencegahan penyakit. Sekarang menjadi dosen di Stikes NU di Tuban, dan menjalani peran sebagai surveior FKTP Kemenkes

Harap-harap Cemas Penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS)

Kompas.com - 15/10/2024, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sementara rumah sakit swasta harus menggunakan dana sendiri dalam pengembangan KRIS. Tanpa ketersediaan KRIS sesuai ketentuan rumah sakit tidak dapat bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Tantangan rumah sakit swasta adalah melengkapi 12 kriteria KRIS yang telah ditetapkan.

Kriteria tersebut meliputi komponen bangunan tidak boleh tingkat porositas tinggi, terdapat ventilasi udara, pencahayaan ruangan, kelengkapan tempat tidur, dan temperature ruangan.

Kemudian ruang rawat dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi.

Kriteria lain, yaitu pertimbangan kepadatan ruang dan kualitas tempat tidur, partisi antartempat tidur, kamar mandi di dalam ruang yang memenuhi standar aksesibilitas, dan penyediaan outlet oksigen.

Dari 12 kriteria, ada 3 kriteria yang cukup berat bagi rumah sakit. Yaitu kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur, outlet oksigen, serta pembagian ruang atas jenis kelamin, usia dan jenis penyakit. Melengkapi fasilitas tersebut membutuhkan dana cukup besar.

Namun demikian, rumah sakit swasta berkomitmen menjalankan KRIS. Mereka membutuhkan dukungan pemerintah tentang regulasi, detail implementasi, anggaran, dan waktu dalam melengkapi semua ketentuan KRIS.

Masih banyak rumah sakit kita yang belum siap menerapkan standar KRIS tersebut. Sebuah kenyataan yang cukup berat karena waktu terus bergulir.

Jika sampai batas waktu rumah sakit belum memenuhi KRIS, maka akses menjadi persoalan yang serius bagi pasien dan masyarakat.

Perpres 59 tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan memang belum mengatur tentang penyesuaikan iuran peserta dengan dilaksanakannya KRIS. Namun diharapkan tidak memberatkan masyarakat, khususnya mereka yang selama ini sebagai peserta dengan kelas ekonomi bawah.

Penetapan tarif dan iuran KRIS akan diberlakukan paling lambat pada 1 Juli 2025. Pemerintah harus mempertimbangkan penyesuaian tarif dan iuran yang tidak memberatkan peserta dan fasyankes dalam memberikan pelayanan KRIS.

Kiranya dampak KRIS adalah peningkatan pendapatan BPJS Kesehatan termasuk peningkatan tarif layanan yang harus dibayarkan ke fasyankes (rumah sakit, puskesmas, klinik, dokter praktek mandiri). Dinamika dan aktuaria terus dihitung sehingga dari sisi keuangan kondusif.

Sedang bagi peserta mendapatkan kualitas pelayanan yang lebih baik dibanding sebelum penerapan kelas KRIS. Menjamin nilai tambah KRIS demikian tidak mudah karena pasti ada pihak yang menjerit dan harap cemas dengan KRIS sebagai upara transformasi program JKN.

Selama ini peserta mandiri bukan penerima upah membayar untuk kelas 1 Rp 150.000 per bulan, kelas 2 Rp 100.000 per bulan, dan kelas 42.000 per bulan dengan subsidi pemerintah 7.000 per orang.

Sedang pekerja penerima upah iurannya 5 persen dari gaji di mana 4 persen ditanggung pemberi kerja dan 1 persen dari pekerja.

Penerapan standar KRIS yang merupakan upaya peningkatan kualitas layanan dan keadilan bagi peserta, selayaknya tidak menimbulkan beban pada masyarakat.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau