KEBIJAKAN BPJS Kesehatan yang mengatur bahwa 144 jenis penyakit tertentu harus ditangani di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) adalah langkah yang dimaksudkan untuk memperkuat layanan dasar dan mengurangi beban rumah sakit.
Namun, kebijakan ini juga menimbulkan tantangan di lapangan, terutama ketika kasus-kasus tertentu sebenarnya memerlukan fasilitas dan keahlian yang hanya tersedia di rumah sakit.
Sebagai seorang dokter sekaligus praktisi manajemen layanan kesehatan, saya memahami tujuan utama kebijakan ini, yaitu efisiensi pelayanan dan optimalisasi sumber daya di FKTP.
Namun, pengalaman klinis dan operasional menunjukkan bahwa beberapa penyakit yang tercakup dalam daftar 144 diagnosis tersebut memerlukan penanganan lebih mendalam, cepat, dan terintegrasi, yang tidak selalu dapat dilakukan di FKTP.
Beberapa kasus yang perlu penanganan lebih dari FKTP:
Pertama, kejang demam pada anak. Kejang demam sering kali terjadi pada anak usia balita dan dapat diatasi di FKTP jika bersifat sederhana.
Namun, jika kejang berlangsung lebih dari lima menit, berulang, atau disertai gangguan kesadaran berkepanjangan, penanganan di rumah sakit menjadi krusial.
Di rumah sakit, anak mendapatkan pemeriksaan lanjutan seperti pencitraan otak atau evaluasi untuk menyingkirkan infeksi serius seperti meningitis.
Jika hanya ditangani di FKTP, maka risiko keterlambatan diagnosis dapat berakibat fatal.
Kedua, asma bronkial dengan serangan berat. Serangan asma ringan hingga sedang memang dapat diatasi di FKTP dengan nebulizer dan obat-obatan bronkodilator.
Namun, dalam kasus serangan berat yang menyebabkan hipoksia (kekurangan oksigen), pasien membutuhkan ventilasi mekanis atau terapi oksigen intensif, yang tidak tersedia di FKTP.
Penundaan rujukan dalam kondisi ini bisa meningkatkan risiko komplikasi serius, termasuk gagal napas.
Ketiga, Pielonefritis Akut (infeksi ginjal). Infeksi ginjal yang sering kali disebabkan komplikasi infeksi saluran kemih dapat menyebabkan demam tinggi, nyeri pinggang, bahkan sepsis.
FKTP umumnya tidak memiliki fasilitas laboratorium lengkap untuk mengidentifikasi patogen atau antibiotik intravena untuk mengatasi infeksi berat.
Kasus ini memerlukan fasilitas rawat inap dengan pengawasan ketat, terutama untuk pasien dengan komorbiditas.
Keempat, demam tifoid dengan dehidrasi berat. Penyakit tifoid pada tahap awal bisa diobati dengan antibiotik oral di FKTP.
Namun, pasien yang mengalami dehidrasi berat akibat muntah berulang atau diare memerlukan terapi cairan intravena yang tepat dan pemantauan elektrolit secara ketat.
FKTP umumnya tidak dilengkapi untuk penanganan semacam ini, yang berisiko memperburuk kondisi pasien jika tidak segera dirujuk.
Kelima, hipertensi dengan risiko tinggi. Pasien dengan tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol, terutama yang menunjukkan gejala seperti nyeri dada atau gangguan penglihatan, memerlukan evaluasi kerusakan organ target seperti gagal jantung atau stroke.
FKTP umumnya hanya mampu menangani pengendalian tekanan darah secara umum. Namun dalam beberapa kondisi dibutuhkan investigasi mendalam untuk mendiagnosis dan mencegah komplikasi.
Kebijakan yang terlalu ketat tanpa mempertimbangkan kompleksitas kasus di lapangan dapat berisiko menurunkan kualitas layanan kesehatan.
Ada tiga alasan utama mengapa fleksibilitas dalam sistem rujukan ini penting:
Pertama, kompleksitas kondisi pasien. Tidak semua kasus dalam daftar 144 penyakit bersifat sederhana. Ada variasi dalam tingkat keparahan dan risiko komplikasi, yang harus dinilai oleh dokter secara klinis.
Memberikan wewenang kepada dokter FKTP untuk menentukan kebutuhan rujukan berdasarkan kondisi pasien adalah langkah yang bijaksana.
Kedua, keterbatasan FKTP. FKTP sering menghadapi keterbatasan alat diagnostik, obat-obatan, dan kapasitas rawat inap. Ini menyebabkan beberapa kasus menjadi tidak tertangani secara optimal di tingkat pertama.
Misalnya, ketiadaan alat seperti EKG atau ultrasound dapat membatasi kemampuan dokter FKTP dalam menangani kasus kompleks.
Ketiga, risiko keterlambatan penanganan. Dalam beberapa kondisi, seperti kejang demam berulang atau serangan asma berat, setiap menit sangat berharga. Penundaan rujukan karena kebijakan administratif dapat memperburuk prognosis pasien.
Perlu solusi konstruktif untuk kebijakan yang lebih adaptif.
Pertama, peningkatan kapasitas FKTP. Kebijakan ini harus diiringi penguatan FKTP melalui penyediaan alat diagnostik dasar, pelatihan tenaga medis untuk menangani kasus lebih kompleks, dan peningkatan jumlah tenaga kesehatan yang memadai.
Kedua, sistem supervisi melalui telemedicine. FKTP dapat didukung dengan konsultasi langsung dengan dokter spesialis melalui telemedicine, sehingga keputusan untuk merujuk pasien lebih berbasis data klinis yang kuat.
Ketiga, fleksibilitas dalam sistem rujukan. Kebijakan harus membuka ruang fleksibilitas, terutama dalam kasus di mana dokter FKTP menilai bahwa kondisi pasien membutuhkan penanganan lebih lanjut di rumah sakit.
Fleksibilitas ini harus didukung pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan rujukan yang tidak perlu.
Keempat, evaluasi kebijakan secara berkala. Pemerintah harus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan ini, melibatkan masukan dari asosiasi medis, tenaga kesehatan, dan pasien.
Dengan demikian, kebijakan dapat terus disempurnakan agar lebih relevan dan responsif terhadap kebutuhan lapangan.
Kebijakan ini adalah langkah besar dalam reformasi sistem kesehatan Indonesia. Namun, keberhasilannya bergantung pada bagaimana pemerintah dan penyelenggara layanan kesehatan menjembatani kesenjangan antara kebijakan di atas kertas dan kebutuhan medis di lapangan.
Kesehatan masyarakat tidak bisa hanya didekati dari sudut pandang efisiensi. Keamanan, kenyamanan, dan kualitas layanan harus tetap menjadi prioritas utama.
Pemerintah perlu memastikan bahwa fleksibilitas dan adaptasi kebijakan tetap menjadi hal utama agar tidak ada pasien yang merasa diabaikan atau dirugikan.
Kesehatan masyarakat adalah prioritas utama. Kebijakan yang dibuat harus memastikan bahwa setiap pasien mendapatkan perawatan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kebutuhan medisnya. Jangan sampai efisiensi sistem justru mengorbankan kualitas layanan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.