DI INDONESIA, BPJS Kesehatan menjadi jantung akses layanan kesehatan masyarakat, termasuk persalinan.
Kebijakan yang membolehkan klaim persalinan tanpa batas jumlah anak, baik normal maupun operasi caesar, mencerminkan prinsip aksesibilitas dan keadilan kesehatan.
Namun, di balik niat mulia ini, muncul pertanyaan: apakah kebijakan ini sudah benar-benar efektif dalam menciptakan masyarakat yang sehat, sejahtera, dan mandiri?
Menurut Pasal 28H UUD 1945, setiap warga negara berhak atas pelayanan kesehatan. Selain itu, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa pelayanan kesehatan harus diberikan secara adil dan merata.
Kebijakan BPJS yang menanggung semua biaya persalinan, termasuk anak ketiga dan seterusnya, mungkin sesuai dengan prinsip-prinsip ini.
Namun, keadilan tidak hanya tentang akses, tetapi juga tentang alokasi sumber daya yang proporsional.
Ketika anggaran BPJS lebih banyak dialokasikan untuk biaya persalinan tanpa batas, apakah hak pasien lain untuk mendapatkan pengobatan kritis, seperti kanker atau penyakit jantung, tidak terganggu? Ini adalah pertanyaan mendasar yang perlu dijawab.
Setiap persalinan, terutama operasi caesar, membutuhkan sumber daya besar, seperti ruang operasi, tenaga medis, obat-obatan, dan fasilitas pascaoperasi.
Rumah sakit, terutama yang bekerja sama dengan BPJS, sering kali menghadapi tekanan kapasitas yang berdampak pada layanan pasien non persalinan.
Masalah lain, adanya praktik kecurangan (fraud). Laporan dari KPK dan BPJS Kesehatan mengungkap praktik manipulasi klaim, di mana rumah sakit mengajukan klaim operasi caesar tanpa indikasi medis yang jelas.
Misalnya, kasus di mana tiga rumah sakit menggelembungkan klaim hingga merugikan negara sebesar Rp 34 miliar. Ini menunjukkan adanya celah dalam kebijakan yang dimanfaatkan untuk keuntungan sepihak.
Program Jaminan Kesehatan Nasional telah mencatat defisit anggaran sejak beberapa tahun terakhir.
Biaya persalinan, terutama operasi caesar, menjadi salah satu komponen pengeluaran terbesar. Tanpa pembatasan jumlah anak yang ditanggung, anggaran akan terus membengkak, dan mengancam keberlanjutan program.
Studi menunjukkan bahwa keluarga dengan tingkat pendidikan rendah cenderung memiliki lebih banyak anak.
Data BPS 2023 mengungkapkan bahwa keluarga di kelompok pengeluaran terendah memiliki rata-rata 4 anak, dibandingkan dengan 2 anak di kelompok pengeluaran tertinggi.