LABUAN BAJO, KOMPAS.com – Banyak hal yang membuat jantung Fifi Sumanti (24) berdegup kencang saat menjalani profesinya sebagai bidan.
Setelah lulus dari Akademi Kebidanan Syekh Yusuf Gowa di Makassar, Sulawesi Selatan, Fifi langsung kembali pulang ke tempat tinggalnya di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Tak disangka, ia langsung mendapat pasien malam itu juga.
Fifi bahkan langsung mendapat kasus yang cukup berat, yaitu seorang ibu hamil yang mengalami gejala eklampsia atau tekanan darah tinggi.
“Malamnya saya dipanggil warga karena ada ibu hamil yang mengeluh sakit kepala, bengkak di bagian kaki dan wajah. Saat itu sama sekali tidak ada bidan yang ada hanya satu perawat laki-laki,” cerita Fifi kepada Kompas.com.
Sebagai bidan yang baru saja wisuda, Fifi mengaku masih minim pengalaman menangani ibu dengan eklampsia. Ia pun hanya mengandalkan teori. Di pulau yang terkenal sebagai destinasi pariwisata dunia itu memang ada Puskesmas Pembantu (Pustu) Komodo.
Akan tetapi, fasilitas kesehatan masih terbatas dan persediaan obat saat itu sedang kosong. Tentu belum memungkinkan untuk menangani kasus berat.
Tapi, ibu hamil dan keluarganya tidak langsung bersedia untuk dirujuk. Padahal, situasi sudah darurat dan butuh keputusan cepat.
“Kebiasaan masyarakat Komodo itu kalau disuruh merujuk ke Labuan Bajo paling susah. Harus gunakan senjata pamungkas, seperti rayuan dan sedikit menakut nakuti. Ha-ha-ha,” ucap Fifi.
Setelah menjelaskan bahaya yang bisa dialami ibu hamil jika tidak segera dirujuk, keluarga pun setuju untuk membawa ibu hamil ke Labuan Bajo.
Pukul 23. 00 WIT, mereka berangkat menggunakan perahu motor untuk menyeberangi lautan. Butuh sekitar 4 jam untuk sampai di Labuan Bajo. Itu pun sangat tergantung gelombang laut.
Di pertengahan jalan, ibu hamil tersebut tiba-tiba kejang-kejang. Fifi merasa jantungnya mulai berdebar kencang. Di atas perahu, ia terus berdoa agar segera sampai di Labuan Bajo.
Singkat cerita, ibu hamil dan bayinya selamat setelah tindakan operasi. Hal itu adalah pengalaman pertama Fifi menangani ibu hamil di kampungnya.
"Setelah kejadian itu saya bertekad untuk mengabdikan diri sebagai sukarelawan dengan gaji Rp 50 ribu per bulan, itu pun kalau ada," ucap Fifi.