Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kondisi pada Anak yang Bisa Dicurigai sebagai Gejala Penyakit Langka

Kompas.com - 11/10/2020, 19:31 WIB
Irawan Sapto Adhi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Terdapat beragam gejala yang patut diwaspadai para orangtua untuk mencurigai adanya penyakit langka pada anak.

Penyakit langka di sini adalah penyakit yang mengancam jiwa atau mengganggu kualitas hidup dengan prevalensi yang rendah, yakni sekitar 1:2.000 populasi.

Sebagian besar atau 80 persen kasus penyakit langka disebabkan oleh kelainan genetik dengan 30 persen kasus berakhir pada kematian sebelum usia 5 tahun pada anak-anak.

Dokter RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo yang aktif dalam Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia, dr. Cut Nurul Hafifah, Sp.A(K), menjelaskan beberapa penyakit langka yang ada di Indonesia di antaranya, yakni:

  • Mukopolisakaridosis (MPS) tipe II atau sindrom Hunter dengan angka kejadian di dunia 1:162.000
  • Maple Syrup Urine Diseases (MSUD) dengan angka kejadian di dunia 1:180000 kelahiran hidup
  • Glucose-galactose malbasorption syndrome yang jumlah pasiennya hanya berkisar 100 orang di seluruh dunia

“Penyakit langka yang pernah ditangani di RSCM sudah banyak, di antaranya kelainan metabolisme bawaan, seperti MSUD, fenilketonuria, MPS, dan lain sebagainya,” kata dr. Cut Nurul kepada Kompas.com setelah acara Webinar #CareForRare yang diadakan Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia, Minggu (11/10/2020).

dr. Cut Nurul memberikan informasi mengenai gejala yang harus dipikirkan oleh orangtua untuk mencurigai adanya penyakit langka pada anak.

Baca juga: 3 Jenis Rokok Elektrik dan Bahayanya bagi Saluran Pernapasan

Beberapa gejala penyakit langka itu, yakni:

  1. Kemunduran perkembangan. Misalnya, anak sudah bisa berjalan tiba-tiba jadi tidak bisa karena penyebab yang tidak jelas. Selain itu, bisa juga bayi sehat tiba-tiba tidak sadar atau koma
  2. Keterlambatan perkembangan tanpa faktor risiko, misalnya bukan bayi prematur
  3. Perubahan wajah atau tulang
  4. Gangguan darah, hati, ginjal, atau jantung yang tidak tuntas tanpa penyebab yang jelas
  5. Punya riwayat penyakit serupa pada saudara kandung atau keluarga lainnya

Jika mendapati kondisi itu, orangtua perlu berkonsultasi segera dengan dokter.

Perlunya ketersediaan diagnostik penyakit langka yang terjangkau

Sementara itu, Kepala Pusat Penyakit Langka RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Prof. DR. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A(K), menyampaikan bahwa melakukan penegakan diagnosis adalah kunci bagi setiap pasien penyakit langka untuk mendapatkan pengobatan yang tepat.

Pengobatan pasien penyakit langka dapat diberikan melalui obat (orphan drugs) atau makanan khusus (orphan food).

“Pasien penyakit langka dapat melakukan diet makanan yang berbeda untuk setiap penyakit. Salah satu contoh kasusnya adalah pasien saya, Gloria, yang didiagnosa Galactosemia Type 1 yang menyebabkan tubuhnya bereaksi negatif ketika menerima laktosa. Saat ini tumbuh kembangnya membaik dengan mengkonsumsi susu formula asam amino bebas yang nol galaktosa,” terang Prof. Damayanti saat menjadi pemateri utama dalam Webinar.

Baca juga: Dokter: Rokok Elektrik Bisa Lebih Berbahaya Ketimbang Rokok Tembakau

Menurut Prof. Damayanti, pasien penyakit langka di Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan, mulai dari belum tersedianya laboratorium genetik komprehensif untuk diagnosis, tidak tersedianya obat-obatan, hingga keterbatasan biaya karena belum ditanggung oleh program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Padahal, untuk dapat menegakkan diagnosis, dibutuhkan biaya hingga Rp13 juta per satu pasien.

“Saat ini kami sudah melakukan kerjasama dengan banyak laboratorium dan rumah sakit dari berbagai negara, salah satunya adalah Australia dan Taiwan. Namun, kami di RSCM dan Human Genetic Research Cluster IMERI FKUI terus melakukan upaya pengembangan laboratorium agar Indonesia dapat melakukan diagnosis mandiri,” tambah Prof. Damayanti.

Prof. Damayanti juga termasuk anggota Tim Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau