Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harapan Kesehatan Anak di Balik Kenaikan Harga Rokok

Kompas.com - 11/10/2020, 18:00 WIB
Irawan Sapto Adhi

Penulis

SOLO, KOMPAS.com - Berdasar Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun naik dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.

Artinya, hampir 1 dari 10 anak Indonesia merokok.

Angka tersebut jauh di atas target penurunan prevalensi perokok anak pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2015-2019 sebesar 5,4 persen.

Kondisi ini dianggap mengkhawatirkan oleh sejumlah pihak karena berbahaya bagi generasi muda.

Dosen Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof. Dr. dr. Reviono, Sp.P (K), menyebut kebiasaan merokok yang dilakukan sedari masa kanak-kanak bisa meningkatkan risiko seseorang terserang penyakit akibat rokok di usia dewasa, termasuk kanker paru-paru yang mematikan.

Hal ini berkaitan dengan banyaknya paparan rokok yang diterima.

Oleh karena itu, dia mengajak siapa saja untuk bisa membantu anak-anak terhindar dari rokok demi kesehatan yang lebih baik.

Reviono, menjelaskan pemerintah sebenarnya telah melarang setiap orang menjual rokok kepada anak di bawah usia 18 tahun.

Hal itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau.

Baca juga: 3 Jenis Rokok Elektrik dan Bahayanya bagi Saluran Pernapasan

Tapi sayang, di lapangan yang terjadi adalah rokok masih bisa dengan mudah diakses anak-anak.

“Diamati saja, itu di warung-warung atau toko-toko modern, anak-anak masih bisa bebas beli rokok kan?” tutur Reviono saat diwawancarai Kompas.com, Jumat (9/10/2020).

Guna mengatasi masalah ini, dia menilai, pemerintah terkait perlu melakukan pengawasan lebih ketat lagi dan pedagang harus punya kesadaran tinggi untuk patuh terhadap aturan.

Selain itu, Reviono berpendapat, sekarang dibutuhkan pula kenaikan harga rokok untuk semakin membatasi akses anak terhadap rokok.

Dia memperhatikan, banyak pihak selama ini kerap melontarkan pembenaran atas tindakan merokok dengan dalih cukai rokok bermanfaat bagi negara, terutama yang terbaru adalah mengatasi persoalan defisit BPJS Kesehatan.

Reviono tidak sepakat dengan anggapan tersebut.

Dia menilai, pemikiran itu adalah logika yang keliru.

Pasalnya, berdasarkan berbagai sumber, Reviono menyebut, bahwa penanganan terhadap penyakit akibat rokoklah yang sebenarnya membebani BPJS Kesehatan, seperti pada penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).

"Coba berpikirnya dibalik, berhenti merokok itu baik untuk kesehatan. Kalau sehat, orang-orang jadi tidak perlu pergi berobat pakai BPJS," ujar dia.

Jadi, dia merasa, kenaikan cukai dan harga rokok eceran penting diberlakukan dengan harapan dapat menurunkan konsumsi rokok, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah dan anak-anak.

Reviono berharap kepada masyarakat, terutama para perokok aktif untuk selalu bisa menyikapi kenaikan harga rokok dengan kepala dingin.

Kebijakan ini sebaiknya dapat dijadikan sebagai motivasi positif untuk dapat berhenti merokok atau tidak menjajal rokok.

Tak hanya akan lebih sehat secara fisik, dia yakin, masyarakat juga akan lebih sehat secara ekonomi apabila berhenti merokok.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau