KOMPAS.com - Epilepsi adalah gangguan sistem saraf pusat (neurologis) ketika aktivitas otak menjadi tidak normal.
Hal ini ditandai dengan kejang berulang pada bagian tubuh tertentu atau juga seluruh tubuh. Biasanya, kondisi ini disertai dengan hilangnya kesadaran.
Selain itu, penderita juga kehilangan kontrol terhadap fungsi usus dan kandung kemih.
Baca juga: Jangan Keliru, Ini Beda Kejang dan Epilepsi
Menurut data WHO, sekitar 50 juta orang di seluruh dunia mengidap epilepsi.
Hal ini menjadikannya sebagai salah satu penyakit neurologis paling umum di dunia.
Hampir 80 persen penderita epilepsi tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Dilansir dari Health Line, siapa pun dapat terkena epilepsi, tetapi lebih sering terjadi pada anak kecil dan orang tua.
Dalam berbagai kasus, epilepsi sering terjadi pada pria daripada wanita.
Sampai saat ini, tidak ada obat untuk epilepsi, tetapi gangguan ini dapat ditangani dengan obat-obatan dan perawatan tertentu.
Dengan pengobatan dan perawatan yang tepat, WHO mencatat 70 persen penderita epilepsi dapat hidup secara normal tanpa kejang.
Berdasarkan artikel dari Mayo Clinic, penyebab epilepsi sebagian besar belum bisa diketahui.
Namun, di beberapa kasus, diketahui epilepsi disebabkan oleh beberapa faktor berikut.
Beberapa jenis epilepsi terjadi dalam keluarga. Dalam kasus ini, kemungkinan ada pengaruh genetik.
Peneliti telah mengaitkan beberapa jenis epilepsi dengan gen tertentu.
Namun, bagi kebanyakan orang, gen hanyalah bagian kecil dari penyebab epilepsi.
Baca juga: Epilepsi Fotosensitif: Gejala, Penyebab, Cara Mengatasi
Gen tertentu bisa membuat seseorang lebih peka terhadap kondisi lingkungan yang memicu kejang.
Trauma kepala akibat kecelakaan mobil atau cedera traumatis lainnya dapat menyebabkan epilepsi.
Kondisi otak yang menyebabkan kerusakan pada otak, seperti tumor otak atau stroke, dapat menyebabkan epilepsi.
Stroke adalah penyebab utama epilepsi pada orang dewasa yang berusia di atas 35 tahun.