KOMPAS.com — Kematian pasien sering dianggap "kegagalan" bagi dokter dan perawat. Namun, tidak bagi perawat Susi Susilawati (36). Baginya, menghadapi pasien yang meninggal bukanlah suatu kegagalan.
Susi merupakan salah satu dari segelintir tenaga medis yang melayani asuhan paliatif. Menurut dia dan tenaga asuhan paliatif lainnya, kematian adalah hal yang wajar karena setiap manusia pasti akan mengalaminya.
"Yang penting adalah kondisi pasien di saat-saat terakhir menuju kematiannya. Bagaimana pasien tidak mengalami nyeri, siap menghadapai kematian, serta keluarga bisa menerima," paparnya dalam SEHATi Bicara di Jakarta, Selasa (16/7/2013).
Asuhan paliatif merupakan suatu pendekatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya yang menghadapi banyak masalah terkait penyakit mengancam jiwa melalui pencegahan dan upaya meringankan penderitaan dengan deteksi dini, pengkajian menyeluruh dan penanganan nyeri serta masalah lain baik fisik, psikososial, dan spiritual.
Di Indonesia, lembaga penyedia asuhan paliatif masih terbilang jarang. Paradigma tenaga medis, bahkan masyarakat pada umumnya yaitu orang sakit perlu disembuhkan. Padahal, bagi penderita penyakit-penyakit mengancam jiwa yang sudah stadium lanjut, yang dibutuhkan bukan lagi usaha untuk menyembuhkan, melainkan kenyamanan dan rasa terlindungi.
"Terkadang pasien hanya membutuhkan perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan melalui usapan atau melalui perbincangan mengenai impian mereka. Hal itu dapat membantu meredakan nyeri yang mereka alami," tutur perawat dari Yayasan Rumah Rachel, penyedia layanan asuhan paliatif ini.
Ia mengatakan, dukungan secara psikologis dengan memberikan kasih sayang tersebut sudah termasuk dalam definisi asuhan paliatif. Dan hal tersebut dapat dilakukan oleh siapapun yang mau memahami pentingnya asuhan ini bagi seorang pasien.
Menjadi perawat asuhan paliatif sejak tahun 2008, Susi telah menuai banyak pengalaman menyentuh baginya. Salah satunya ketika ia harus merawat seorang anak dengan HIV/AIDS.
Anak laki-laki itu masih berusia 7 tahun. Sejak kedua orangtuanya meninggal, ia hanya diurus tantenya. Virus HIV yang menggerogoti tubuh mungilnya membuat harapan hidupnya kian menipis.
Namun, sejak Susi merawatnya, perlahan semangatnya bangkit. Anak itu pun mampu tersenyum dan bercerita layaknya anak sehat. Gizi buruknya pun semakin membaik.
Hingga suatu saat kondisi anak itu menurun drastis. Kematian seakan sudah di depan mata. Namun ia menolak keras dibawa rumah sakit.
"Aku enggak mau ke rumah sakit lagi, sakit ditusuk-tusuk dokter. Aku nyaman di sini, aku mau ditemani perawat Susi," ujar Susi menirukan anak itu.
Meski memang hari itu jadwal Susi untuk merawat anak itu, namun hari itu juga Susi mendapat kabar ada pasien lainnya yang sudah dalam keadaan kritis. Susi pun dalam dilema, namun akhirnya memilih untuk datang ke pasien kritis, lantaran pertimbangan keadaannya lebih buruk daripada si anak laki-laki tersebut.
Esoknya, Susi baru mendatangi rumah si anak laki-laki. Betapa terkejutnya ia mendapati si anak laki-laki duduk di depan pintu rumah dalam keadaan lemas, menunggunya.
Kemudian ia tahu, anak itu sudah menunggunya dari kemarin tanpa mau meninggalkan pintu. Anak itu percaya Susi akan datang untuk mengajaknya bercerita, meringankan rasa nyerinya. Namun Susi tak kunjung datang, ia pun tak mau beranjak hingga Susi datang.