"Dari aspek ekonomi kita ingin mengurangi impor dan menghemat devisa. Kita ingin industri farmasi kita menjadi andalan," ujar Dettie dalam diskusi di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Jumat (22/1/2016).
Menurut Dettie, saat ini sebanyak 70 persen kebutuhan dalam negeri dapat dipenuhi oleh industri farmasi lokal, yaitu 203 item, kecuali produk originator dan biotechnology. Untuk kemandirian ekonomi, harus diupayakan produksi obat secara lokal dan membatasi obat impor.
Apalagi, sebanyak 943 jenis obat sudah tercantum dalam Formalium Obat Nasional untuk kebutuhan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dettie mengatakan, obat yang diproduksi lokal pun harus terjamin safety quality and efficacy yang tidak bisa disamakan dengan komoditi lain.
Standar kualitas obat perlu diatur dan produksinya harus dikontrol dengan ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Dettie mencontohkan, salah satu kebutuhan yang tinggi di Indonesia yaitu obat hipertensi. Sebagai tahap awal, mungkin produksi obat-obatan tersebut yang akan diutamakan lebih dulu.
"Nanti kalau sudah memenuhi kebutuhan dalam negeri silakan diekspor, tapi kebutuhan dalam negeri dulu dipenuhi," jelas Dettie.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Dimyati mengatakan, industri farmasi di Indonesia perlu diperhatikan. Harus ada dukungan riset pembuatan obat untuk menghasilkan produk yang berkualitas
"Kita ingin menekan harga obat agar relatif murah dan terjangkau," kata Dimyati.
Sementara itu, menurut Gabungan Perusahaan Farmasi, untuk mengembangkan industri bahan baku obat, harus dilakukan prastudi kelayakan, riset yang mendalam, kecukupan dana, dan memanfaatkan kemampuan BUMN atau konsorsium dengan swasta.