KOMPAS.com - Dalam sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam Science Translational Medicine, para peneliti yang yang merupakan perintis pengobatan kanker berbasis imunitas, melaporkan sebuah hasil yang menggembirakan untuk pengobatan kanker limfoma non-Hodgkin. Penelitian ini dipimpin oleh Dr. Cameron Turtle dari Pusat Penelitian Kanker Fred Hutchinson.
Para ilmuwan memberikan rejimen kemoterapi yang berbeda-beda kepada 32 pasien, kemudian mereka diperkenalkan kepada sel-sel kekebalan yang khusus dirancang untuk menargetkan dan menghancurkan sel-sel kanker.
Semua pasien telah diberikan setidaknya satu pengobatan tradisional dan ada juga yang telah melakukan transplantasi sel induk tetapi hasilnya tidak memuaskan.
Setelah imunoterapi, ada tujuh orang yang berhasil masuk ke tahap remisi lengkap, sementara empat lainnya mengalami perkembangan penyakit yang lebih lambat.
Pengobatan ini disebut terapi sel CAR-T, ditargetkan terhadap kanker darah, di mana dokter dapat menghilangkan sel-sel kanker dan menggantinya dengan darah yang sehat dan sel-sel kekebalan tubuh.
Strategi ini bergantung pada dua langkah penting. Pertama, dokter perlu menghapus sebanyak mungkin sel darah yang sarat kanker pada pasien. Prosedur ini mungkin dilakukan dengan kemoterapi guna membuat ruang untuk populasi darah baru dan sel-sel kekebalan tubuh yang lebih sehat.
Jika jumlah sel-sel kanker terlalu banyak, mereka bisa menghancurkan sel-sel baru. Untuk memastikan ini tidak terjadi, Turtle dan timnya menguji dua obat kemoterapi dan membandingkannya dengan strategi kemo obat tunggal.
Mereka mendapatkan kombinasi terbaik yaitu sebesar 64 persen untuk tingkat remisi lengkap dengan perbandingan, hanya salah satu orang yang mendapatkan agen kemoterapi tunggal mendapatkan remisi lengkap (delapan persen).
Selanjutnya, para peneliti harus kembali mendapatkan jumlah sel-sel kekebalan tubuh yang tepat yang dapat melawan kanker. Dikenal sebagai sel T, ini sel kekebalan tubuh mengandung reseptor khusus yang memungkinkan beberapa dari mereka untuk mengenali dan mengikat sel-sel kanker dan menghancurkannya.
Untuk meningkatkan potensi terapi, para ilmuwan berusaha menumbuhkan sel-sel ini di laboratorium dan merekayasa mereka secara genetik untuk mengekspresikan reseptor spesifik tumor. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan kembali sel-sel ini ke pasien dan memberi mereka sel-sel darah yang sehat yang bebas kanker.
Meski efektif, terapi ini juga memiliki kekurangan. Karena sel-sel T dapat memicu efek samping seperti demam dan peradangan.
Sebanyak 20 dari 32 orang pada penelitian, diketahui mendapatkan tanda-tanda peradangan dan tekanan darah rendah dan empat orang membutuhkan perawatan di unit perawatan intensif dan pengobatan dengan steroid.
Dua orang juga mendapatkan efek toksik yang mengakibatkan tremor. Dua orang yang diberikan dosis tertinggi dari terapi sel T meninggal dunia; salah satunya karena perdarahan dan lainnya perdarahan akibat massa usus.
Para ilmuwan berharap, penelitian lanjutan akan membantu mereka mengetahui dosis dan regimen kemoterapi dan sel T yang tepat untuk mencapai hasil terbaik dengan efek samping minimal.
Dr Stanley Riddell, salah satu penulis penelitian dari Fred Hutchinson mengatakan, "Pasien-pasien ini gagal dalam menjalani terapi konvensional. Kami merawat pasien yang tidak memiliki banyak pilihan perawatan.”
“Semua ini masih dini dan kita perlu menindaklanjuti dan memahami dengan lebih dalam perjalanan penyakit pasien untuk mengetahui waktu terbaik penggunaan terapi. Kami percaya ini adalah tantangan," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.