Oleh: Adhitya Ramadhan
Dulu, banyak pihak meragukan Tiongkok bisa tegas menerapkan kebijakan pengendalian tembakau. Namun, ternyata tak ada yang tak mungkin. Kini, negara tirai bambu itu, dalam beberapa aspek, bisa jadi contoh bagi negara lain, termasuk Indonesia, yang kebijakan pengendalian tembakaunya belum optimal.
Soal rokok, Tiongkok adalah rajanya. Negara itu menjadi produsen sekaligus konsumen rokok terbanyak di dunia. Global Adult Tobacco Survey tahun 2010 menunjukkan, lebih dari 300 juta warga Tiongkok berusia di atas 15 tahun adalah perokok. Prevalensi perokok laki-laki 52,9 persen dan perempuan 2,4 persen. Selain itu, produksi rokok di negara ini tahun 2009 saja 2,3 triliun batang.
Kerugian ekonomi terkait rokok tahun 2008 diperkirakan 28,9 miliar dollar AS, naik 4 kali lipat dibanding tahun 2000. Itu meliputi biaya pengobatan penyakit terkait rokok, hilangnya produktivitas, hingga kematian dini. Meski demikian, dalam beberapa tahun terakhir Tiongkok memiliki komitmen kebijakan pengendalian tembakau lebih kuat dibandingkan sebelumnya.
Beijing sebagai ibu kota negara menjadi yang terdepan dalam pengendalian tembakau di Tiongkok. Kebijakan kawasan tanpa rokok (KTR) yang diterapkan sejak Juni 2015 menjadi lompatan besar dalam advokasi pengendalian tembakau. Kebijakan itu berlaku untuk 28 jenis lokasi, termasuk restoran, bar, dan angkutan umum.
Tak hanya itu, iklan rokok di media massa, ruang publik, dan transportasi publik pun dilarang. Denda akan dikenakan pada siapa saja yang melanggar. Denda 10 kali lipat akan dikenakan kepada badan usaha yang tak mematuhi larangan iklan, promosi, dan sokongan acara dari perusahaan rokok. Ribuan inspektur dan sukarelawan dari masyarakat dan komunitas pun dilibatkan untuk mengawalnya.
Berdasarkan pemantauan di sejumlah tempat di Beijing menunjukkan konsistensi kebijakan KTR di kota itu. Tanda dilarang merokok terpasang di mana-mana, mulai dari kamar, lobi, hingga toilet hotel, ruangan di restoran, di dalam taksi, hingga lokasi wisata.
Dalam pembukaan Asia Pacific Conference on Tobacco or Health (APACT) Ke-11 di Beijing, Sabtu (24/9), Direktur Departemen Propaganda Komite Nasional Kesehatan dan Keluarga Berencana Tiongkok Mao Qun'an mengatakan, Pemerintah Tiongkok amat serius dalam pengendalian tembakau. Karena itu, ratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) amat penting untuk memastikan kesehatan masyarakat terlindungi dari ancaman bahaya rokok. Apalagi, Tiongkok bercita-cita mewujudkan Tiongkok Sehat Tahun 2030.
Bahkan, seperti dilaporkan China Daily pada 30 Agustus 2016, Partai Komunis Tiongkok menyatakan, kesehatan adalah syarat fundamental pembangunan sosial ekonomi dan menjadi indikator kesejahteraan bangsa.
Untuk mendukung itu, Tiongkok memiliki kelompok kerja implementasi FCTC yang melibatkan delapan kementerian dan lembaga pemerintah lain.
Indonesia tertinggal
Menurut Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Prijo Sidipratomo, dalam beberapa aspek, Indonesia tertinggal dari negara lain di Asia Pasifik. Misalnya, Australia yang telah menerapkan kemasan rokok standar dan melarang iklan rokok sejak 1990-an.
Nepal memasang peringatan kesehatan bergambar 90 persen dari kemasan rokok. Adapun Thailand memberlakukan peringatan kesehatan bergambar 85 persen.
Menurut Prijo, Indonesia bisa mencontoh Tiongkok. Hal yang paling jadi pembeda Tiongkok dengan Indonesia ialah Tiongkok telah menandatangani FCTC tahun 2003 sebelum akhirnya meratifikasinya pada 2005. Meski sejak awal ikut berperan aktif membahas, Pemerintah Indonesia tak juga mengaksesi FCTC hingga kini.
Per Maret 2016, Indonesia bersanding sejajar dengan Republik Dominika, Eritrea, Andorra, Malawi, Liechtenstein, Malawi, Monako, Sudan Selatan, dan Somalia. Pada konteks ini, negara sebesar Indonesia jadi minoritas dalam pergaulan global mengelompok bersama negara-negara kecil.