Di samping itu memang ada juga yang tidak percaya dengan adanya pandemi. Mereka berpendapat bahwa itu hanya rekayasa berita. Mereka berasumsi hal ini merupakan salah satu bentuk teori konspirasi. Pendapat ini sangat populer di dunia maya.
Sebagai tenaga medis tentu saja tidak boleh berpegang pada informasi spekulatif. Meski belum bisa mengabaikan informasi tersebut karena tidak ada yang membantahnya.
Apalagi sejak buku The Secret History of the World karangan Jonathan Black diterbitkan. Versi terjemahan dalam bahasa Indonesia buku itu berjudul Rahasia Dunia Yang Disembunyikan. Buku tersebut merupakan best seller internasional. Kecurigaan atas aktivitas perkumpulan rahasia semakin menjadi.
Tenaga medis tentu harus berpegang pada informasi berupa teori-teori yang diajarkan semasa kuliah. Mengabaikan keberadaan penyakit yang disebabkan virus sama saja dengan menolak kebenaran teori yang diajarkan semasa kuliah.
Dokter telah disumpah untuk memberikan pelayanan berdasarkan ilmu pengetahuan. Lalu, jika seperti itu, mengapa anda menolak diabetes sebagai penyakit. Bukankah itu teori yang diajarkan dibangku kuliah? Salah seorang sejawat balik bertanya pada saya.
Tentu saja pertanyaan itu saya bantah. Apa yang saya kemukakan semuanya berdasarkan teori-teori kedokteran yang telah mapan. Referensi yang saya gunakan selalu ada dalam katalog jurnal ilmiah.
Perkara orang lain tidak melihat apa yang saya lihat, itu hal lain. Karena metode yang saya gunakan sudah lama dikenal dalam dunia penelitian ilmiah. Metode ini disebut meta analisa, menggabungkan data berbagai penelitian dan melihat hubungan dari berbagai penelitian tersebut.
Umumnya metode ini menggunakan berbagai aplikasi komputer karena berkaitan dengan angka. Namun pada data kualitatif hal itu sulit dilakukan.
Namun peran katalog jurnal jadi sangat berarti. Dengan mengumpulkan berbagai kata kunci yang tepat dapat diperoleh sebuah kesimpulan dari kumpulan informasi tersebut.
Hal itu yang mungkin menjadi suatu seni tersendiri dalam sebuah penelitian. Sulit dilakukan jika wawasan kita tentang isu tersebut rendah. Harus diawali dengan teori hipotesa permulaan yang kuat, hingga dapat mengumpulkan kata kunci yang tepat.
Hal itu memungkinkan kita akan semakin memperoleh pemahaman yang mendalam, sebuah kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh seorang dokter. Pemahaman mendalam atas keluhan setiap pasiennya. Bukan mengingat panduan penanganan penyakit semata.
Sebagai seorang dokter yang pernah bertugas di daerah tertinggal, saya tahu persis betapa tidak berdayanya sebuah panduan. Banyak sekali standar yang tidak tersedia dalam panduan di daerah tertinggal.
Jika kita hanya terpaku pada panduan praktis, kita berperan sebagai tukang rujuk.
Persoalan akan sederhana saat berada di wilayah yang mudah mengakses pusat pelayan lanjutan. Namun saat berada di wilayah yang jauh dari pusat pelayanan, hal itu sulit dilakukan.
Apalagi jika masyarakatnya juga enggan untuk pergi ke pusat rujukan. Semakin bertambah masalah, terutama jika disertai kendala biaya.
Sebagai dokter di wilayah terpencil dipaksa harus memutar otak. Berusaha tetap memberikan pelayanan di tengah segala keterbatasan.
Syukur selama ini tidak pernah terjadi insiden akibat pelayanan tersebut. Yang terpenting, pasien-pasien sembuh dengan segala keterbatasan tersebut.
Tentu saja setiap improvisasi tidak dilakukan asal-asalan. Semuanya berdasarkan pada pemahaman teori yang pernah dipelajari.
Mendewakan panduan
Justru hal ini yang mulai ditanggalkan pada pelayanan kedokteran. Saat ini justru terlalu mendewakan pendekatan panduan.
Pendekatan panduan hampir menjadi gejala di seluruh dunia. Termasuk pada saat pendekatan penanganan Covid-19.
Semuanya beralasan data statistik yang diajukan para pembuat panduan. Baik itu kelompok pro vaksin maupun anti vaksin. Tidak pernah ada yang mengungkapkan alasan panduan berdasarkan pemahaman teori.
Justru ketika menyampaikan pendapat berdasarkan teori malah timbul pertanyaan. Pernahkan pendekatan tersebut dilakukan uji coba? Apakah data statistiknya tersedia?
Itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) sekalipun.
Beberapa kolega yang membaca tulisan saya sering menanyakan tentang data penelitian, bukan membaca kesesuaian teori yang digunakan.
Tidak heran perdebatan pro vaksin dengan anti vaksin ini tidak pernah berakhir. Semua berpegang dengan data masing-masing. Bukan memberikan pemahaman berdasarkan teori yang disepakati.
Padahal setiap data bernilai tergantung bagaimana penyajian dan kesimpulan yang dibuat. Kesimpulan yang jadi pemahaman yang disepakati bersama.
Saya paham bagaimana penolakan terhadap ivermektin dan klorokuin. Padahal kedua obat tersebut banyak diklaim memberikan hasil yang positif. Berdasarkan data-data penggunanya, tentu saja.
Sebaliknya, para penolak obat tersebut juga menggunakan data lain. Data tersebut menyebutkan penggunaan obat-obat tersebut tidak memberikan hasil bermakna. Terlepas dari jujur tidaknya pengusung data tersebut.
Hasilnya akan berbeda jika Dr. Pierre Kory dan Dr Peter McCulough dapat menunjukkan hubungan farmakologi kedua obat tersebut dengan patogenesa penyakitnya. Perdebatan akan selesai.
Setidaknya selama yang saya ikuti hingga saat ini, keduanya belum pernah menyampaikan hal tersebut.
Begitupun dengan vaksin. Semua akan selesai saat farmakologi vaksin dapat dijelaskan hubungannya dengan patogenesa penyakit. Sayangnya, tren menjadikan panduan sebagai bukti kebenaran semakin kuat. Sehingga terkesan menjadi tidak rasional di kedua sisi.
Tidak ada bedanya dengan kumpulan testimoni yang biasa dijadikan andalan promosi terapi alternatif. Itu juga data yang diklaim sepihak.
Sebaliknya ada yang mempertanyakan saat saya katakan menggunakan metformin untuk gangguan saraf. Data penelitiannya mana? Bukan, bagaimana penjelasan teorinya? Atau bagaimana hasilnya?
Untungnya saat ini kita dimudahkan dengan internet. Para penyangsi pendekatan terapi terdiam saat saya sodorkan link jurnal penelitian terkait penggunaan metformin pada gangguan saraf.
Sejujurnya, saya sebetulnya hanya berpegang pada pemahaman farmakologi dan patogenesa penyakitnya. Dengan cara ini saya bisa memahami aplikasi obat tertentu pada berbagai keluhan yang tidak pernah disebutkan dalam indikasinya.
Itu sering dilakukan terutama saat bertugas di pelosok terpencil dengan segala keterbatasannya.
Tentu saja panduan juga bermanfaat dalam pelayanan kedokteran sehari-hari. Itu sangat memangkas waktu pelayanan meski tidak memberikan pelayanan paling optimal bagi pasen.
Panduan juga bermanfaat saat terjadi pengaduan malapraktek. Hingga saat ini tidak pernah ada pengaduan malapraktek yang menggugat panduan.
Namun dengan semakin meningkatnya pemahaman pasien sebagai konsumen mungkin saja hal itu terjadi. Bisa jadi perkumpulan yang mengeluarkan panduan berurusan dengan hukum saat ada yang dapat membuktikan kesalahan panduannya.
Karena pada dasarnya standar profesi kedokteran bukanlah panduan. Standar profesi kedokteran adalah temuan sains. Tidak ada pilihan lain. Salam, semoga menjadi inspirasi hidup se
https://health.kompas.com/read/2022/10/05/115738968/panduan-versus-pemahaman-dalam-pelayanan-kedokteran