Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menguak Mitos "Hantu Laut"

Kompas.com - 31/05/2011, 06:53 WIB

”Kalau molekul udara menekan medula spinalis (saraf di tengkuk) bisa menyebabkan kelumpuhan tangan dan kaki,” katanya.

Susan yang juga mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengibaratkan dekompresi seperti penyakit stroke. Bedanya, pada penyakit stroke penyumbat pembuluh darah adalah trombus (bekuan darah), sedangkan pada penyakit dekompresi penyumbatnya adalah gelembung udara (nitrogen).

Efeknya mirip, yaitu mati rasa, lumpuh, hingga kehilangan kesadaran. Adapun efek ringan dari dekompresi antara lain nyeri sendi, nyeri otot, atau gatal-gatal di kulit.

Menurut US Navy Diving Manual Revision 5, risiko terjadinya dekompresi pada orang yang menyelam selama 1 jam adalah 42 persen, pada penyelaman 3 jam 60 persen, penyelaman 8 jam risikonya 83 persen, dan penyelaman 24 jam risiko mengalami dekompresi 98 persen.

Terapi hiperbarik

Untuk mengatasi itu, penderita dekompresi harus segera dibawa ke rumah sakit dengan fasilitas hiperbarik oksigenasi, seperti di RSAL Mintohardjo. Metode pengobatan disebut selam kering. Dalam ruang hiperbarik, pasien diberi terapi tekanan tertentu selama waktu tertentu. Tujuannya melarutkan gelembung udara, kemudian tubuh diberi kesempatan melepaskan perlahan-lahan.

Susan mengatakan, korban dapat sembuh jika diterapi dalam jangka waktu kurang dari enam jam setelah kejadian. Jika lebih dari itu, jaringan yang tersumbat dikhawatirkan telah mati sehingga ada gejala sisa.

Di lapangan, jika hal ini terjadi dan penyelam masih sadar, korban dapat dibawa kembali ke kedalaman sekitar 9 meter dan diberi oksigen murni. Jika tidak tersedia oksigen murni, cukup membawa penyelam ke kedalaman semula, kemudian naik ke permukaan sesuai prosedur sehingga nitrogen yang terlarut terlepas dari tubuh.

Harijanto Mahdi, dokter spesialis Kelautan dan spesialis Telinga Hidung Tenggorokan yang juga Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan (Perdokla), menyatakan, penyakit dekompresi jarang terjadi pada penyelam profesional dan Marinir. Hal itu karena mereka diberi pendidikan keselamatan.

Penelitian Susan di Kepulauan Seribu, tahun 1995, menunjukkan, sekitar 51,8 persen nelayan penyelam setempat menderita penyakit dekompresi.

Ia menambahkan, orang yang sebelum menyelam mengonsumsi alkohol, keletihan, dan kegemukan, tergolong berisiko terkena penyakit ini. Namun dengan melakukan penyelaman yang aman dan mengikuti tabel penyelaman (dari organisasi POSSI/CMAS, PADI, ADS, atau US Navy), seperti naik perlahan-lahan, memerhatikan batas-batas kedalaman, dan durasi penyelaman, risiko terjadinya penyakit itu sangat kecil. US Navy Diving Manual mensyaratkan seorang penyelam bergerak naik maksimum dengan kecepatan 60 kaki (sekitar 18 meter) per menit.

Bawah laut bukanlah alam bagi manusia. Banyak hal bisa terjadi ketika kita tidak dapat beradaptasi. Namun dengan prinsip kehati-hatian dan kewaspadaan didukung kemajuan teknologi dan penelitian serta memerhatikan aturan penyelaman, kita dapat mengeksplorasi bawah laut dengan aman tanpa perlu takut dihinggapi hantu laut.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com