Begitulah orang memandang teh. Hadir dalam keseharian hampir sepanjang peradaban manusia, teh memang menempati posisi istimewa dalam kehidupan. Bahkan, Ratu Elizabeth II dari Inggris memulai hari
”Ia hidup di istana megah, lengkap dengan para pelayan, dan bertemu ribuan orang setiap tahun. Namun, dalam kesehariannya, Ratu Elizabeth II adalah pribadi sederhana. Setiap pagi, pelayan mengetuk pintu kamar
dengan secangkir teh di baki,” kata Brian Hoey, ahli kerajaan dan penulis buku
Di Jepang, teh adalah ”agama” dalam seni hidup. Menurut Kakuzo Okakura dalam bukunya,
Filosofi teh adalah higienis karena ia menekankan kebersihan. Ekonomis karena ia menunjukkan kemudahan dan kesederhanaan. Namun, di atas itu semua, teh adalah geometri moral. Ia mengajarkan bagaimana menghargai relasi manusia dengan semesta: ajaran utama dalam kearifan Timur.
Masa isolasi Jepang yang panjang membuat pemujaan terhadap teh—disebut sebagai teh-isme—berkembang pesat. Rumah dan budaya, tata cara makan-minum, seni dan tradisi, semua dipengaruhi teh-isme. Sebutan ”orang tanpa teh” di Jepang berarti manusia yang tidak berperasaan. Sebaliknya, manusia yang terlalu berlebihan emosinya disebut ”orang yang kebanyakan teh”.
Demikian pula halnya di China, tempat teh berawal. Situs The Chinese Historical and Cultural Project menyebutkan, teh merupakan obat dan minuman tertua dalam sejarah manusia. Menurut legenda, Kaisar China Shen Nong menemukan teh tanpa sengaja pada 2737 sebelum Masehi.
Sebagai ilmuwan, ia percaya bahwa minum air yang direbus lebih sehat daripada air mentah. Saat istirahat setelah berkunjung ke desa-desa, pelayan yang merebus air tak sadar pancinya kemasukan daun camelia kering. Sang Raja ternyata senang karena air itu jadi punya rasa dan aroma baru sekaligus menyegarkan tubuh.
Pada pemerintahan Dinasti Tang, tahun 780, seorang cerdik pandai bernama Lu Yu menerbitkan