Menurut psikolog anak dan keluarga Roslina Verauli, kegiatan idoling sebenarnya merupakan hal yang tidak mengenal usia, baik dewasa maupun remaja bisa melakukannya. Pasalnya, kegiatan itu sebenarnya adalah bentuk pencarian jati diri yang berlangsung seumur hidup.
"Pencarian jati diri selalu dilakukan sepanjang hidup, namun usia remaja dari usia 13 hingga 18 merupakan puncaknya," ujar Vera, sapaannya, kepada Kompas Health beberapa waktu lalu.
Vera menerangkan, idoling dikategorikan sebagai kegiatan pencarian jati diri karena dengan melakukan itu, orang menjadi memiliki harapan citra diri yang ideal sesuai dengan citra idolanya. Dengan begitu, seorang penggemar akan berusaha untuk meningkatkan kualitas dirinya sehingga mendekati citra yang diharapkannya.
Misalnya, ketika idola adalah seorang penyanyi dengan suara indah, maka seorang penggemar bisa jadi terinsipirasi untuk berlatih bernyanyi supaya bisa mendekati dengan citra idolanya. Atau misalnya, idolanya merupakan seseorang yang modis, seorang penggemar bisa terinspirasi dengan gaya berpakaian atau bahkan belajar desain pakaian untuk menciptakan gaya fesyen yang disenanginya.
"Tokoh idola itu penting untuk menyalurkan aspirasi remaja. Selama tujuannya untuk pengembangan diri, apalagi pada remaja yang masih perlu banyak pengembangan, memiliki tokoh idola itu sangat baik," katanya.
Pengembangan diri yang baik, lanjut dia, harus bersifat konstruktif, yaitu membuat seseorang melakukan hal-hal yang positif, seperti belajar menyanyi atau desain itu. Sementara yang bahaya adalah pengembangan diri yang bersifat destruktif, sehingga seseorang lebih banyak menjurus ke hal-hal negatif, seperti membuang-buang uang untuk mengoleksi segala pernak-pernik idola secara berlebihan. Bahkan mencuri uang demi melakukan hal itu.
Vera menjelaskan, pengembangan diri yang bersifat destruktif juga bisa dinyatakan dari perubahan sikap yang tidak sesuai dengan kepribadiannya. Misalnya, pribadi pemalu namun karena ingin mirip dengan idolanya, dia berpakaian seksi dan berlebihan. Hal itu justru membuat seorang penggemar berkembang menjadi orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri.
Terlebih, jika seseorang sudah menjadi peniru dari idolanya, segala cara berpakaian, cara bebicara, cara bergaul semua diikuti. "Itu artinya idoling baginya sudah tidak sehat dan bersifat destruktif," tandas psikolog yang berpraktik di RS Pondok Indah dan PacHealth ini.
Vera menambahkan, kegiatan idoling yang sehat juga bisa membuat pergaulan makin luas dan solid. Contohnya ketika menonton konser musik idola bersama teman-teman yang juga mengidolakan tokoh yang sama, atmosfer positif di dalam kelompok pertemanan semakin mudah tercipta.
"Dengan begitu, kegiatan idoling bisa jadi media sosialisasi dan itu sangat baik untuk pengembangan diri remaja," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.