Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/04/2014, 13:06 WIB

Bagi Rudi, urusan bersih-bersih telah menjadi kegiatan yang mendarah daging. Saat waktu kosong, Rudi kerap memanfaatkannya untuk bersih-bersih rumah. ”Apa pun saya lakukan. Yah, itung-itung selain mengisi waktu juga untuk mencari keringat,” katanya.

Hingga kini, melihat tempat yang tidak bersih dan berantakan, selalu membuat Rudi merasa tak nyaman dan terganggu. Salah satu strategi untuk menghindari tekanan dan rasa terganggu, Rudi kerap berusaha menghindari tempat-tempat yang akan membuat dirinya stres.

”Misalnya ke WC umum. Daripada saya stres karena kotor, lebih baik saya menghindari dan mencari tempat lain. Soalnya saya pernah sampai mual-mual,” katanya.
Tertular bersih

Kecintaan Rudi pada kebersihan dan keteraturan ini bukan tidak membuat pasangannya tertekan. Sang istri mengaku, pada saat awal, dirinya cukup tertekan dengan tuntutan Rudi yang cukup tinggi terhadap standar kebersihan dan keteraturan di rumah mereka.

”Apalagi saya ini orang yang suka sembarangan. Baju yang habis saya pakai, suka saya letakkan sembarangan,” kata Pinkan, istri Rudi.

Rudi kemudian menetapkan bahwa pakaian yang baru dua jam dipakai, tetapi sudah terkena keringat harus segera diganti. Cuci tangan pun kini menjadi aturan wajib di rumah. Kebiasaan itu berusaha ditularkan kepada anak-anaknya di rumah.

Suami dan anak-anak Yohana juga akhirnya beradaptasi dengan rumah yang bersih dan teratur. Anak-anak Yohana bisa merasa tersiksa jika harus menginap di rumah yang berantakan. Anjing peliharaan Yohana juga ikut-ikutan menjadi pecinta kebersihan dengan tidak buang kotoran di kandang.

Gaya hidup bersih ala Yohana sering kali dimanfaatkan oleh rekan atau kerabat dekatnya. Mereka sering kali ”menculik” Yohana sehari semalam untuk membantu membersihkan rumah. Standar kebersihan Yohana mulai berkurang sejak hadir anak kedua. Kasihan mereka stres ketika tinggal di rumah yang enggak rapi. Aku harus berdamai dengan diriku untuk mulai menerima sedikit ketidakteraturan. Hidup enggak selalu sesuai yang kita mau,” tambah Yohana.

Dari kebiasaan bersih, baik Yohana maupun Rudi, bisa memetik banyak manfaat. Perabot rumah yang bersih ternyata lebih awet dan terlihat seperti selalu baru. Kualitas hidup pun menjadi lebih baik karena terhindar dari beragam penyakit akibat kotor dan debu.

Obsesif kompulsif

Psikolog Rosdiana Setyaningrum menyatakan, kebiasaan hidup bersih adalah sesuatu yang baik asal tidak berlebihan. Seseorang yang terlalu terobsesi pada kebersihan bisa menumbuhkan stres dan pada jangka panjang bahkan bisa membuat seseorang menjadi gila. Dalam istilah psikologis, seseorang yang benar-benar terobsesi kebersihan bisa digolongkan ke dalam penyakit obsesif kompulsif dan perlu segera mendapat penanganan psikolog.

Salah satu klien yang ditangani Rosdiana, misalnya, menderita obsesif kompulsif sampai tak berani ke luar rumah saking takut debu dan seluruh waktunya dihabiskan untuk membersihkan rumah. Ia kemudian menjalani terapi dengan cara pindah ke apartemen yang lebih kecil dibanding rumah besarnya di kawasan Kelapa Gading sehingga lebih mudah dibersihkan dan bisa punya banyak waktu luang.

”Asal dia dan orang lain merasa nyaman dengan kebiasaan bersih, itu enggak masalah. Penderita obsesif kompulsif punya kebiasaan bersih yang ekstrem dibanding orang lain,” tambah Rosdiana. (DOE/WKM)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com