Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/11/2014, 17:00 WIB

KOMPAS.com - Seusai terpilih sebagai Menteri Kesehatan, setumpuk pekerjaan rumah bidang kesehatan menanti Nila F Moeloek. Di tengah padatnya kesibukan, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga pernah menjadi Utusan Khusus Presiden RI untuk Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) itu menerima Kompas, Senin lalu.

Bagaimana proses terpilih sebagai menteri?

Saat dipanggil Pak Presiden, saya ditanya ada apa dengan AKI (angka kematian ibu). Karena saya tahu tentang MDG (Tujuan Pembangunan Milenium), saya bilang, kita masih perlu terus membantu untuk mencapai keadilan dalam kesehatan.

Problem krusial kesehatan?

Masalah kesehatan jangan dari sisi kesehatan jasmani saja. Betul ada masalah akses pelayanan kesehatan, kelengkapan SDM (sumber daya manusia), keterbatasan jumlah dokter, sarana, dan obat. Namun, di dalam itu ada kekurangan edukasi kepada perempuan. Kalau cacingan dan anemia, ibu hamil akan kurang gizi.

Kalau tak ada akses air bersih, tak ada sanitasi, rakyat tetap cacingan, anemia, dan kurang gizi saat hamil. Kalau tak ada listrik, bagaimana menyimpan vaksin? Jadi, jangan terlalu melihat hanya dari sisi kesehatan. Kita harus melihat secara holistik. Lintas sektor itu penting sekali.

Jadi, pembangunan harus berwawasan kesehatan. Membangun rumah harus ada ventilasi, perumahan mesti layak huni. Kalau tinggal di bantaran sungai, bagaimana kita mau sehat, tak ada air bersih. Semua itu terkait.

Implementasi visi Presiden?

Kalau dilihat secara keseluruhan, inti dari visi dan misi Presiden adalah keadilan. Di bidang kesehatan, harus ada kemandirian. Itu berarti masyarakat ikut mandiri menjaga kesehatan, misalnya makan pagi, tak jajan sembarangan.

Kemudian layanan primer. Kalau mulai batuk, sebaiknya datang ke puskesmas, jangan langsung ke rumah sakit. Bisa jadi pasien tak sakit, cukup istirahat dan makan sehat, sehingga tak ada biaya obat. Itu yang diharapkan di layanan primer.

Contohnya, kalau dokter di puskesmas tahu ada pasien kena hipertensi, harus proaktif. Mereka yang berisiko hipertensi didatangi, diukur tensinya. Kalau tekanan darah pasien naik, dikasih obat generik, itu menghemat biaya berobat.

Prioritas pembangunan?

Promotif dan preventif, tanpa meninggalkan aspek kuratif dan rehabilitatif. Pada orang yang hipertensi, misalnya, kalau tensi tambah tinggi, mesti dirujuk karena bisa stroke, dengan pengawasan dokter spesialis di layanan sekunder. Kalau terjadi komplikasi, seperti stroke, baru diberikan layanan tersier, tak bisa lagi ditangani layanan primer.

Semua upaya itu sudah dikerjakan Kementerian Kesehatan sejak dulu, sekarang kami coba sempurnakan. Hippocrates saja menyatakan, begitu masuk suatu daerah, Anda lihat anginnya bertiup dari mana, mana sumber airnya. Artinya, kesehatan lingkungan dulu yang diperhatikan.

Bagaimana atasi penyakit?

Kalau seseorang sakit, beban ekonomi tinggi, penderita tak produktif. Karena itu, kami akan dorong pencegahan, misalnya jaga perilaku makan, mendorong pola makan gizi seimbang.

Bagaimana menjamin kesehatan masyarakat?

Saya sangat gembira dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional sejak Januari 2014. Artinya, warga tak mampu dibantu pemerintah. Kini jumlahnya 86,4 juta orang. Kami berharap warga yang dibantu bisa lebih tinggi, sekitar 96,7 juta orang. Jadi, masih ada 10,3 juta orang belum tercakup bantuan iuran pemerintah. Mereka akan diberi Kartu Indonesia Sehat.

Program Indonesia Sehat tak berbeda dengan Jaminan Kesehatan Nasional. Jadi, peserta JKN tetap bisa berobat. Tetapi, layanan terbatas?

BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan harus bekerja sama dengan rumah sakit. Kami kewalahan kalau tak dibantu rumah sakit swasta.

Kondisi ini sementara karena banyak orang sakit dan sebelumnya tak punya biaya berobat. Banyak pasien gagal ginjal butuh cuci darah, tetapi hanya beberapa rumah sakit bisa melayani. Ada rumah sakit swasta, tetapi belum bekerja sama dengan BPJS.

Pemerataan tenaga medis?

Harus dipikirkan matang kebijakannya, baik layanan primer, sekunder, maupun tersier. Layanan tersier baru ada di kota besar.

Bagaimana menurunkan angka kematian ibu?

Kami akan evaluasi penyebabnya. Nanti disempurnakan. Sebenarnya dukungan medis itu 30 persen, selebihnya gizi. Tingginya angka kematian ibu bisa dari gizi, perumahan tak sehat, air tak bersih, keterbatasan infrastruktur, dan sumber daya manusia. Nanti kami lihat lubang-lubangnya untuk diperbaiki.

Pelibatan daerah?

Saya akan mendekati asosiasi pemerintah kota dan kabupaten seluruh Indonesia. Mereka itu ujung tombak. Kami dari pusat memfasilitasi.

Ada keinginan melembagakan Pencerah Nusantara?

Belum tentu model Pencerah Nusantara (program inovasi bidang kesehatan untuk puskesmas) sempurna. Ini mau proses gabung dengan model di Kementerian Kesehatan. Nanti dicari model lebih optimal. Hal bagus di Pencerah Nusantara adalah pelatihan untuk menggodok mental, harus dipikirkan kemampuan anggaran Kemenkes.

Perbaikan gizi?

Saya senang sekali karena Presiden amat tegas dalam swasembada pangan dan kelautan. Itu sumber karbohidrat dan protein. Saya ingin mendorong diversifikasi makanan untuk mengatasi masalah gizi. Itu perlu perubahan perilaku. Kita tak hanya bisa makan nasi, tapi juga talas, singkong, dan sagu.

Pengendalian tembakau?

Presiden belum terlalu detail soal itu. Kenaikan cukai rokok, misalnya, itu kewenangan Kementerian Keuangan. Dari sisi kesehatan, rokok menyebabkan banyak penyakit. Rugi, dong. Kami harus bayar pengobatannya, itu kami tak mau. Jangan anak-anak disuruh merokok. Kalau bapaknya merokok, pendapatan untuk beli rokok, bagaimana kecukupan gizi keluarga. Karena itu, kami terus perluas kawasan tanpa rokok.

Kapan ajukan aksesi FCTC?

Saya harus menelaah berdasarkan angka, anggaran, dan kajian akademis. Secepatnya kami ajukan (FCTC/Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau), tetapi itu bergantung kepada Presiden. (ADH/JOG/EVY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com