Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/12/2014, 09:00 WIB
Latief

Penulis

KOMPAS.com –  Anak-anak kecil itu asyik bermain, bercanda, dan berenang di genangan air. Warna airnya coklat kehitaman. Jangankan untuk bermain, genangan air dari sungai yang meluap itu juga tidak sehat untuk mandi. Airnya kotor, penuh kuman penyakit.

Kekhawatiran itu diungkapkan Dira Noveriani Hanifah, salah satu relawan pengajar “Sahabat Anak” di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Pelajar kelas XII Lab School, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, itu selalu meluangkan waktu senggangnya pada hari Minggu untuk bertemu anak didiknya di Pasar Rebo, sekitar satu jam dari rumahnya di Cimanggis.

"Ada sungai yang melintasi daerah tempat saya tinggal. Saat hujan deras, sungai itu sering meluap dan airnya membanjiri jalanan. Anak-anak itu berdatangan dan bermain di genangan air. Mereka berenang, bercanda dan kelihatan begitu senang. Tapi, ketika air surut, kegembiraan mereka ikut surut,” kata perempuan kelahiran Jakarta,  8 November 1997 itu.

"Di balik tawa mereka, ada ironi yang pahit, yaitu banjir melanda dan tidak ada air bersih. Mereka memang kekurangan air bersih. Jangankan untuk main, untuk mandi pun tidak sehat. Sungai yang dulu tempat mereka bermain itu sekarang berfungsi menjadi WC. Airnya kotor, banyak kuman penyakitnya,” tambahnya.

Dira menceritakan, di satu sisi dirinya mengaku sangat senang melihat sebagian besar anak Indonesia bisa menikmati fasilitas kesehatan dan sanitasi memadai. Namun, di sisi lain ia khawatir, karena masih ada sebagian lagi yang belum mendapatkan fasilitas tersebut.

Berdasarkan catatan Joint Monitoring WHO/UNICEF masih ada lebih dari 63 juta orang yang buang air tidak pada tempatnya. Sementara itu, sebanyak 46 persen rumah tangga belum juga memiliki fasilitas jamban memadai.

"Saya pernah berkunjung ke sebuah desa kecil. Di sana, sungai dipakai untuk mandi, buang air, sekaligus menjadi sumber air minum. Kalau sungai kering, anak-anak membuang air di sembarang tempat, mengundang kerumunan lalat. Itu sebenarnya tidak perlu terjadi, kalau kita mau perduli dan berbuat sesuatu,” ujar Dira.

Dira mengaku percaya, bahwa tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini bukan perang nuklir, lonjakan populasi atau pemanasan global. Menurut  dia, tantangan terbesarnya adalah sikap apatis, ketidak pedulian pada lingkungan sekitar, khususnya pada masalah kesehatan dan sanitasi.

“Saat kita tidak peduli, kita ibarat berada dalam gelap. Saat kita peduli, kita bagai menyalakan lilin untuk meneranginya. Saya memilih untuk peduli,” ujarnya.
Agar tidak takut menghadapi realita di sekelilingnya, lanjut Dira, dia melihat banyak video tentang tempat-tempat yang kekurangan air bersih dan fasilitas sanitasi. Di situ Dira kerap melihat wajah-wajah polos anak-anak.

“Saya sendiri pun seorang anak. Jadi, bagaimana mungkin saya mau tidak peduli?” katanya.

Dira percaya, kepedulian adalah awal dari perubahan besar. Semakin banyak orang peduli dan bahu membahu untuk mencari solusi, semakin besar perubahan bisa terjadi.

Dia mengaku bersyukur hidup di Indonesia, Negara yang sebagian besar masyarakatnya masih memegang prinsip gotong-royong dan kebersamaan. Dengan demikian, seharusnya bukan hal sulit bagi masyarakat untuk melakukan perubahan bersama.

Dira berkisah, beberapa waktu lalu dirinya menjadi relawan untuk mengajar anak jalanan usia 7 tahun dan 9 tahun. Awalnya, dia mengaku terkesan oleh kemampuan anak-anak itu untuk mencari uang sendiri.

"Ironisnya, mereka pintar mencari uang, tapi ternyata tidak bisa menjaga kebersihan diri mereka sendiri," kata Dira.

Di situlah Dira mulai “berbuat”. Dira ikut membantu memberikan pemahaman kepada anak-anak tersebut, bahwa sanitasi sama pentingnya dengan uang. Dua hal itu penting untuk mereka bertahan hidup.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau