"Masyarakat Indonesia memiliki DNA mitokondria yang punya kadar basa T16189C dengan persentase di atas 30-40 persen, bahkan Nias 60 persen, jadi yang tertinggi," kata Herawati Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jumat (4/9) di Tual, Maluku.
Gen itu umumnya memicu kecenderungan untuk menderita diabetes melitus. "Dari studi kami, masyarakat Alor punya persentase rendah, yakni 10 persen, dan Sumba 20 persen," ujarnya.
Herawati dan tim peneliti dari Lembaga Eijkman ada di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara, untuk meneliti genetika masyarakat. Riset itu terkait asal-usul migrasi dan kerentanan terhadap penyakit tertentu.
"Hasil studi genetika pada populasi Alor, ternyata mereka memiliki 95 persen gen Papua. Sebaliknya, pada masyarakat Indonesia lain, gen Papua-nya amat kecil, di bawah 5 persen. Masyarakat yang gen Papua-nya sangat kecil ini memiliki DNA mitokondria dengan kadar basa T16189C tinggi," ujarnya.
Masalahnya, data yang dimiliki Eijkman tentang genetika masyarakat di dekat Pulau Papua amat terbatas. Karena itu, studi genetika yang kini dilakukan Eijkman di Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan Kei punya signifikansi tinggi untuk menjawab kekosongan data.
"Kami belum tahu berapa persen gen Papua masyarakat Tanimbar dan Kei, dan berapa kadar basa T16189C- nya. Dalam beberapa bulan ini, hasil laboratorium akan ketahuan," ujarnya.
Selain persoalan genetika, menurut Herawati, diabetes melitus dipengaruhi pola diet. Makanan padi-padian memiliki indeks glikemik lebih tinggi, sehingga bisa meningkatkan risiko terkena diabetes melitus, terutama bagi masyarakat yang memiliki DNA mitokondria T16189C tinggi.
"Idealnya, masyarakat Nias yang secara tradisional mengonsumsi sagu tak beralih ke padi-padian. Sagu memiliki indeks glikemik lebih rendah," ucapnya.
Kecenderungan secara nasional saat ini, masyarakat pemakan umbi-umbian atau sagu makin banyak yang berubah jadi pemakan padi-padian. Hal itu juga disebabkan kebijakan pemerintah tentang ketahanan pangan yang bias ke beras. Bahkan, di sejumlah daerah yang secara tradisional masyarakatnya pemakan umbi dan sagu, lahannya juga ditanami padi, misalnya di Halmahera dan Merauke.
Perubahan
Di Tanimbar, padi sawah tidak bisa tumbuh karena tidak cocok dengan kondisi tanah dan iklim di daerah itu. Namun, berbagai jenis umbi-umbian seperti keladi, petatas, dan pohon sukun tumbuh subur.
Hal serupa terjadi di Kepulauan Kei. Mayoritas warga di kepulauan itu menanam dan mengolah embal (singkong beracun), petatas, keladi, dan sagu sebagai bahan pangan utama. Padi hanya ditanam dalam jumlah sangat sedikit di Pulau Kei besar. "Kalau kami tanam padi susah hidup. Tanah di sini tidak cocok," kata Jopi Rahanten, Kepala Desa Waur, Kecamatan Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara.
"Warga di sini, khususnya yang tua-tua dan tidak pernah merantau ke luar desa, kalau tidak makan keladi dan embal tidak bisa kenyang. Beras hanya untuk selingan," tuturnya.
Namun, sebagian anak muda, terutama yang pernah merantau, sudah beralih ke beras. Perubahan juga terjadi di perkotaan, seperti di Kota Tual di Kepulauan Kei maupun di Saumlaki, Kepulauan Tanimbar. Perubahan pola makan dari umbi-umbian dan sagu ke beras itu, menurut Herawati, pasti akan memengaruhi kerentanan terhadap berbagai penyakit.
"Misalnya, orang Kei yang di kampungnya makan umbi dan ikan, ketika di kota kemudian tiap hari makan nasi dan daging, maka kecenderungan untuk mengalami obesitas pasti tinggi. Padahal, obesitas adalah jalan masuk berbagai penyakit, seperti hipertensi, jantung, dan kelainan ginjal," kata Herawati. (AIK)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.