Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Jangan Jadi Orang Asing di Negri Sendiri!

Kompas.com - 20/06/2016, 07:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Salah satu Mata Kuliah Dasar Umum yang dikenal sebagai MKDU di semester awal perguruan tinggi adalah kewarganegaraan. Dengan latar belakang S2 filsafat, membuat saya didapuk mengajar di salah satu perguruan tinggi swasta ternama negri ini.

Ada kebanggaan sekaligus rasa ‘greget’ ketika saya perlu mengusung pokok bahasan tentang bela negara. Isu bela negara yang ramai dibahas seakan hanya berkisar soal angkat senjata dan wajib militer ala negri korea – yang mengharuskan para lelaki muda merasakan disiplin gaya tentara.

Jika wacana wajib militer diandaikan mampu membuat anak-anak muda kita jadi ‘lelaki tulen’ – barangkali bagus juga untuk dipikirkan, demi menurunkan insidens LGBT.

Tapi, sayang sekali jika istilah bela negara hanya diberi artian sempit sekadar panggul senjata dan pakai seragam loreng.

Para mahasiswa saya saat ujian akhir semester kemarin, ternyata mampu mengupas dengan kedalaman yang cukup membanggakan. Empat kelompok mahasiswa menyorot aspek bela negara dari pelbagai sudut pandang, termasuk mengusung kembali kearifan pangan lokal.

Di tengah maraknya makanan asing masuk, ada sekelompok anak muda yang masih mau ‘mikir’ dan peduli serta bertanya dengan galau, ”Katanya kita negri yang kaya, kok apa-apa impor ya?”

Pertanyaan serupa bisa muncul jika melihat fakta, bahwa negri ini yang sebetulnya berlimpah berkat alam mulai dari kekayaan tanah hingga laut, tapi rakyatnya mengonsumsi produk pabrik. Seakan mengubah kodrat negara agraris mendadak sontak jadi industrialis.

Mengaca pada negara maju di benua selatan sana, tak malu-malu mereka menempelkan stiker hasil bumi dengan sombong, “proudly Australian grown”. Mereka tidak risau, tidak memiliki pabrik garmen apalagi industri pesawat, karena mereka paham betul karakter produk andalan negrinya.

Jadi, memang kuncinya ada di karakter. Sayangnya, pendidikan karakter ini berangsur-angsur terkikis dengan fenomena harian yang sudah lebur dengan istilah ‘globalisasi’.

Globalisasi kebablasan dan berat sebelah, membuat anak-anak kita malu makan lemper dan dengan rakusnya justru mengunyah sushi maupun onigiri. Tidak lagi mengenal terancam apalagi karedok dan menggantinya dengan minuman ajaib green smoothies.

Bahkan, lebih kenal almond dan chia seeds ketimbang melihat dengan mata kepala sendiri, pangan asli bangsa ini berupa ganyong atau kimpul.

Kehilangan karakter semakin diperparah dengan generasi keluarga muda kelas menengah yang merasa bangga menyekolahkan anak di taman bermain yang sudah mengajarkan bahasa cas-cis-cus.

Bahkan, saya sempat shock mendengar ada sekolah yang saking ngototnya memberlakukan bahasa Inggris, sehingga dalam buku rapor anak ditulis (tentu dalam bahasa asing): “Sekalipun ia mudah bergaul dan sangat aktif, sayangnya terkadang masih menggunakan bahasa Indonesia”. Hah? Jadi salah ya, pakai bahasa Indonesia di tanah air sendiri? Mulas perut saya.

Ini sama konyolnya dengan orang pintar yang mengaku punya paspor berlogo garuda, masih maksa bahwa roti gandum dan havermut itu baik untuk sarapan.

Sebegitu miskinkah negri ini hingga sarapan pun harus berbahan baku impor? Sebegitu minder-kah bangsa ini, jika daging sapi rendang lebaran diganti dengan sup palumara ikan sunu asli dari laut sendiri? Sebegitu rendah dirinya-kah kue kering yang lebih mirip natalan itu, ditukar dengan kacang ampyang dan semprit tempe atau keripik oncom untuk halal bihalal?

Kadang, ada rasa gerah melihat begitu banyak orang lokal bergaya asing yang berkeliaran di negri sendiri. Bangsa ini butuh karakter. Bukan hanya dalam bentuk mata kuliah wajib di semester satu. Tapi, praktik nyata yang juga dilakoni para tokoh panutan.

Tidak usah lebay menyekolahkan anak di taman bermain cas cis cus agar lidahnya nanti beraksen British, tidak seperti ayah ibunya yang medok berlogat Jawa timuran. Aksen tidak sepenting rasa kebangsaan dan bangga akan tanah air yang tak luput dari bahasa ibu.

Dengan wajah oriental, saya selalu bangga memperkenalkan diri bahwa bahasa ibu saya adalah bahasa Indonesia. Bahwa saya besar di tanah air yang penuh kebhinekaan, yang kaya lagam dan ragam.

Dengan artikulasi bahasa Nasional yang baik, kita mampu menjadi penyambung jenjang ilmu dan ranah karya – sementara saat ini, kita krisis anak muda Indonesia yang mampu berbahasa Nasional dengan baik.

Dengan karakter pangan nasional, kita bisa swasembada pangan – sebelum pangan asli kita yang kaya akan nutrisi itu disambar bangsa lain.

Bukan cuma itu. Banyak masalah bangsa kita terpecahkan, begitu semangat kebangsaan dan solidaritas nasional ditujukan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Itu makna bela negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com