“Bermain cantik” bukan hanya milik pemain panggung entertainment atau pelobi ekonomi. Cara pikir fatalistik akan melihat betapa frustrasinya pemimpin Indonesia mengurus negara dengan jumlah pulau lebih dari 17 ribu ketimbang perdana mentri Singapura mengatur sebuah pulau yang tak lebih besar dari Bali.
Di sisi lain, cara pandang transformatif akan melihat kokohnya Indonesia, jika cara pimpin setiap gubernur berintegritas sama seperti seorang perdana mentri Singapura mengurus negaranya. Bukankah cukup banyak orang pintar yang sudah siap menjadi gubernur?
Beberapa bulan yang lalu saya berkesempatan menikmati kemacetan panjang dari Kudus hingga kota Semarang. Sepanjang jalan alternatif yang agak ‘blusukan’ masuk kampung, saya saksikan sendiri begitu banyak pohon pisang sehat-sehat berbuah ranum menjuntai, suburnya tanaman singkong di setiap petak kebun, bahkan pohon pepaya tak mau kalah memamerkan hasil buahnya. Tak ada satu pun tanaman nampak kurus apalagi berpenyakit.
Melihat fenomena gemah ripah loh jinawi serupa itu, saya masih berharap adanya kesalahan data statistik Riset Kesehatan Dasar 2013 yang menyatakan 93.5% penduduk Indonesia di atas usia 10 tahun kurang makan sayur dan buah. Paling tidak di sudut penghujung kabupaten Kudus itu.
Keterlaluan sangat, jika anak-anak desa dijejali susu kental manis dan biskuit murahan berkat suksesnya iklan, sementara hasil bumi yang melimpah ruah demi uang semata dilempar ke luar wilayah mereka. Atau, diserap industri dijadikan ‘makanan olahan’.
Cara pandang fatalistik akhirnya hanya berorientasi pada uang dan penghasilan berupa uang, bukan melihat kemakmuran dari sudut pandang kecukupan gizi anak, tumbuh kembang atau bayi lahir sehat dari ibu yang siap menyusui dua tahun penuh.
Cara pikir fatalistik menutup kemungkinan hubungan lintas sektoral, seakan masalah kesehatan itu tanggung jawab personel kesehatan.
Padahal, saya bermimpi suatu hari ada mentri kesehatan duduk bersama dengan mentri pendidikan dan mentri kelautan, membuat modul ‘Anak Indonesia Makan Ikan Tiga Kali Seminggu’. Tanpa harus dijejali ekstrakurikuler hingga “teler”, anak cerdas mampu kreatif memanfaatkan waktu pulang sekolahnya ketimbang jadi begal.
Tanpa harus membuang ikan busuk 5 ton per hari kembali ke laut, nelayan Aceh mampu memberi makan anak-anaknya dengan hasil tangkapannya.
Tanpa harus mengadakan seminar khusus tentang upaya promotif dan preventif, anak-anak cerdas akan mendorong orangtuanya untuk hidup lebih sehat dan produktif.
Semoga semuanya itu bukan mimpi yang ditertawakan oleh para petinggi partai. Semoga kehidupan berbangsa dan bernegara kembali pada khitahnya, menempatkan rakyat sebagai tujuan. Bukan sarana menggapai hirarki kekuasaan dan monopoli ekonomi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.