Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Orang Jawa Bermata Biru

Kompas.com - 14/09/2016, 08:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

Namun riset berat sebelah rupanya menginjak, mengubur habis riset sisi satunya. Seperti suara rakyat kecil yang ditindas penguasa. Fenomena klasik.

Publik yang dasarnya hanya butuh diberi makan, mana mau tahu dengan istilah-istilah sulit. Bahwa apa yang dimakan nantinya menimbulkan penyakit, dianggap “biarlah Tuhan yang mengatasi”. Yang penting hari ini: Makan!

Seperti menutup mata dengan kacamata kuda, kita dengan nikmatnya mengunyah jagung yang super manis, wortel merah manyala, kedelai berbulir bulat – yang penampakannya saja jauh berbeda dengan milik nenek kita kurang dari 100 tahun yang lalu. Sebab, benihnya tidak sama.

Produk transgenik adalah ciptaan super tahan hama, tahan musim apa pun. Riset yang terinjak adalah yang membicarakan tentang glyphosate, yang berisiko sebagai penyebab kanker, gangguan hormon dan masalah reproduksi.

Kenyataannya sudah terdeteksi pada air seni 93% orang Amerika. Indonesia? Berapa sisa residu antibiotik dan suntikan hormon daging di pasar saja tidak terdata.

Yang lebih menarik, membiarkan para penguasa ekonomi pangan asing itu masuk dan meracuni cara berpikir cendekia kita bahkan ahli kesehatan. Semakin membutakan mata bahwa kita hidup di negri yang kaya.


Kaya karena apa yang kita punya

Begitu banyak kearifan dan sumber pangan lokal yang lolos dari ingatan. Lolos dari ajaran dan ajakan makan bagi anak-anak kita. Padahal, makanan itu disebut enak karena diajarkan dan dibiasakan.

Buat apa ribut memaksa gandum tumbuh di pulau Jawa, jika Tuhan telah memberi puluhan varian ubi, hingga talas, ganyong, kimpul, dan berderet sumber karbohidrat lain? Tawa saya langsung henti tersedak ketika ada teman menyela, ”Oh ya! Mi dan pizza bisa lho dibuat dari bahan umbi!” Ya Tuhan, dipaksakan lagi. Malu kah bangsa ini makan ubi rebus?

Saat saya mengajar mata kuliah ‘character building’ untuk subjek epistemologi Ketuhanan, selalu saya tekankan pertanyaan, ”Di atas semua hasil riset dan teknologi fantastis, mengapa Tuhan harus ada?”

Dari semua jawaban benar, hanya satu yang selalu saya peluk erat-erat: Adanya Tuhan, mengakui dan selaras dengan apa yang Tuhan ciptakan, maka menjadi jaminan umat manusia akan selalu ada, tak punah akibat ulahnya sendiri.

Teknologi fantastis tidaklah semestinya membuat manusia lupa diri, sementara secara ritual ia masih melakukan mekanisme ibadah.

Teknologi selalu ibaratnya pisau bermata dua. Mengatasnamakan demi masa depan yang lebih baik, tapi masa depan milik siapa?

Globalisasi tidak selayaknya membuat kita lupa sebagai orang Indonesia. Tidak semuanya harus sama dimana-mana.

Kita indah, karena kita punya apa yang mereka tidak punya. Biarkan Jepang punya onigiri, kita punya lemper. Yang tidak boleh dan tidak etis, bila anak kita bilang lemper atau arem-arem isi oncom itu kampungan dan onigiri keren.

Kita kaya karena apa yang kita punya, kita perkasakan menjadi hebat dan kuat. Orang Jawa tetap cantik berkebaya tanpa harus pakai rok mini. Karena, Tuhan tidak pernah menciptakan orang Jawa bermata biru.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com