Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Percaya Mitos, Angka "Stunting" di Wilayah OKI Tinggi

Kompas.com - 30/01/2017, 09:05 WIB

OGAN KOMERING ILIR, KOMPAS.com - Angka stunting kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) menurut Riskesdas mencapai 40,5% atau hampir setengah balita di OKI mengalami stunting. Bahkan, angka ini di atas angka stunting nasional 37%.

Sedangkan, dari data Pantauan Status Gizi 2016 tingkat prevalensi stunting di OKI pun mencapai 32,9%.

Stunting adalah kondisi ketika balita memiliki panjang atau tinggi di bawah standar usianya. Kondisi ini dapat mengurangi kemampuan kognitif dan fisik anak.

Sehingga, ketika dewasa anak stunting cenderung berpendidikan rendah, berpenghasilan rendah, dan lebih rentan terhadap berbagai penyakit tidak menular seperti sakit jantung dan diabetes.

Menurut Resy Syamtarina, Kasi Kesga Gizi Dinas Kesehatan Ogan Komering Ilir, faktor utama penyebab stunting di OKI adalah masih tingginya kepercayaan terhadap mitos. Sehingga, asupan gizi yang didapat masyarakat tidak maksimal.

Padahal, banyak pangan lokal yang sebenarnya kaya gizi dan baik untuk pertumbuhan, seperti ikan, udang, dan makanan laut lainnya hasil tangkapan, pun makanan hasil bertani.

“Masih banyak masyarakat OKI yang enggak mau makan ikan selama kehamilan, karena katanya kalau makan ikan, bayinya nanti bau amis. Padahal, ikan kan kaya protein dan nutrisi lainnya yang baik untuk pertumbuhan janin,” kata Resy.

Begitupun setelah anak lahir, makan ikan dipercaya bisa menyebabkan cacingan.

Selain terjebak mitos, masih kurangnya informasi yang benar tentang pemberian makanan pada anak juga berpengaruh pada tumbuh kembang anak.

Tak sedikit bayi yang belum berusia enam bulan diberikan snack kemasan, hanya supaya tidak rewel. Selain itu, banyak juga orangtua yang lebih memilih memberikan susu formula ketimbang ASI.

“Biasanya alasannya, ASI nya enggak keluar banyak. Tapi, banyak juga yang memilih susu formula biar anaknya sehat dan pintar,” ujar bidan Sholeha dari desa Air Itam, Ogan Komering Ilir.

Melibatkan bapak dan tokoh masyarakat

Masalah stunting memang sangat dipengaruhi oleh pola asuh keluarga dan tingkat pengetahuan keluarga yang berhubungan dengan masalah sanitasi dan gizi.

Untuk mengatasi masalah stunting ini Kementerian Kesehatan dengan dukungan Millennium Challenge Account-Indonesia (MCA-I), melalui Program Hibah Compact Millennium Challenge Corporation (MCC) melakukan Kampanye Gizi Nasional Program Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat (PKGBM).

Salah satu intervensi dalam program PKGM adalah tentang perubahan prilaku masyarakat, yang dilakukan dalam program Kampanye Gizi Nasional (KGN).

Program KGN di wilayah OKI dilakukan dengan pendekatan yang menyeluruh, seperti melakukan aktifasi posyandu-posyandu dan pemberian pengetahuan tentang gizi anak dan ibu hamil melalui kelas pendukung ibu, termasuk pengetahuan pentingnya ASI eksklusif.

Selain itu, ada juga kelas bapak untuk memberikan informasi pada para bapak pentingnya peran bapak dalam pertumbuhan dan kesehatan anak.

Tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat juga diajak untuk mendorong pemberian gizi yang baik pada ibu hamil dan bayi.

“Selain mengedukasi ibu, bapak-bapak yang antar istrinya ke posyandu kami ajak bicara juga. Kalau ada bapaknya biasanya informasi yang disampaikan lebih efisien. Di rumah, bapaknya akan mendorong ibu untuk melakukan yang kami sarankan di posyandu,” cerita bidan Sholeha.

“Tapi, kalau hanya ibu, seringkali di rumah bapaknya tidak percaya dengan informasi yang diberikan. Ujung-ujungnya kalau bapak melarang, ibu kembali lagi menjalankan kebiasaan sebelumnya yang sebenarnya salah,” lanjutnya.

Para ibu hamil bukan hanya diperiksa kondisi kehamilannya, tapi juga diberikan penyuluhan untuk menjaga kesehatan ibu hamil dan janinnya.

Pencegahan sejak kehamilan

Umumnya stunting memang dapat dicegah dengan meningkatkan kesehatan dan gizi anak pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK), dimulai dari kandungan sampai anak berusia 2 tahun. Masa ini adalah masa kritis tumbuh kembang anak.

Menurut Resy, kendala terberat adalah menjangkau desa-desa yang jaraknya jauh.

“Selain jarak, kondisi jalan yang sangat rusak membuat kami menghabiskan waktu seharian menuju ke sana. Belum lagi beberapa desa baru masuk listrik, sinyal ponsel juga susah sekali. Jadi, untuk update informasi sangat sulit.”

“Padahal, masyarakat di beberapa desa itu bukan orang tidak mampu lho. Mereka kan punya kebun sawit, rumahnya 'gedongan', jarang sekali rumah kecil. Tapi, akses informasinya sangat minim. Jadi, masih kental mitos dan banyak dukun beranak,” ungkap Resy.

Meski demikian wanita yang akrab disapa Ecy ini optimis bahwa kondisi stunting di OKI bisa diatasi.

Apalagi, hingga saat ini aktifasi posyandu sudah mencapai 100% desa di OKI, ada 305 posyandu yang melayani penimbangan 23.460 balita dan pengajaran tentang pemberian makanan bayi dan anak, serta 153 kelas pendukung untuk para ibu hamil.

“Kalau dibandingkan dengan sebelumnya, sekarang ini ASI eksklusif sudah meningkat. IMD juga sudah selalu dilakukan.”

“Kami juga merangkul para dukun beranak bekerjasama dengan bidan setempat. Jadi, yang mau melahirkan di dukun beranak, tetap harus didampingi bidan. Setelah bayinya lahir diajak rajin ke posyandu. Masih banyak PR, tapi ini menuju ke arah yang lebih baik,” ujar Ecy yakin.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com