Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Ramneya, Gadis 12 Tahun yang Tak Gentar Lawan Keterbatasan akibat Lupus

Kompas.com - 28/02/2020, 23:37 WIB
Irawan Sapto Adhi

Penulis

Prita membandingkan, pada akses ambulans gratis misalnya. Dia menganggap, penyintas kanker lebih mudah memperoleh bantuan tersebut ketimbang penyintas lupus. Banyak pihak yang ditemui merasa asing dengan penyakit lupus.

Selain itu, Prita berharap para penyintas lupus mendapat dukungan fasilitas seperti rumah singgah, termasuk alat kesehatan (alkes) yang dapat dipinjamkan ke pasien.

"Pernah juga kami menyusun proposal penggalangan dana, tapi respons dari pihak yang kami temui kurang antusias. Secara fisik kami memang tidak semua tampak memprihatinkan, jadi mungkin dianggap tidak perlu bantuan," keluh Prita.

Prita menilai belum banyak orang mengetahui apa itu lupus. Padahal penyakit ini bisa sangat berbahaya dan mematikan. Lupus sendiri hingga saat ini belum ada obatnya. Jadi mereka yang terkena, tingkat kesembuhannya bisa dibilang 0 persen.

Bahkan, Prita menyebut para odapus masih mengalami kebimbangan terkait pemberian imunisasi seperti yang dibutuhkan orang pada umumnya. Menurut dia, beberapa penyintas autoimun menolak imunisasi karena vaksi dikhawatirkan malah akan memicu autoimunitas yang pada akhirnya menyebabkan flare pascavaksin.

Tapi, ada juga yang menganggap vaksin adalah sebuah mekanisme perlindungan dengan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh. Jadi, vaksin tidak mendorong respons imun sekuat pada infeksi alami, sehingga kecil kemungkinan vaksinasi dapat memicu autoimunitas.

"Namun memang, pada penyintas autoimun ada beberapa kasus yang justru jadi autoimunnya aktif, terutama yang masih rutin mengonsumsi obat-obatan immunosupressan dan kondisinya belum stabil," terang Prita.

Prita menyampaikan secara umum ada jenis vaksin yang memang tidak boleh diberikan pada pasien autoimun. Tapi ada pula vaksin yang tetap boleh dilakukan. Jadi solusi untuk vaksin akhirnya kembali lagi, sebaiknya pasien melakukan konsultasi dulu dengan dokter.

"Biasanya jika kondisinya stabil, vaksin bisa dilakukan pada odapus," jelas Prita.

Kebimbangan pemberian vaksi pada odapus dewasa juga terjadi pada penyintas lupus anak. Dia berpendapat, pada prinsipnya vaksin hidup tidak boleh diberikan kepada odapus. Pada anak misalnya adalah MMR dan meningitis.

Sementara, Dokter Spesialis Penyakit Dalam lain di RSUD Dr. Moewardi, dr. Agus Joko Susanto, SpPD, K-AI, FINASIM, juga menjelaskan pemberian imunisasi pada pengidap penyakit autoimun tetap direkomendasikan, terutama untuk imunisasi dengan vaksin yang bukan hidup atau live attenuated virus.

Mengingat pengidap penyakit autoimun rentan terjadi infeksi, pemberian imunisasi dengan vaksin hidup memang perlu hati-hati dan kewaspadaan tinggi. Salah satu contoh vaksinnya, yakni vaksin MMR untuk melawan gondong, campak, dan rubella.

Vaksin MMR yang termasuk vaksin hidup masih memungkinkan untuk diberikan kepada pengidap penyakit autoimun, meski tubuh mereka mengalami gangguan sehingga rentan mengelami infeksi akibat serangan kuman, virus, dan mikroba yang masuk ke dalam tubuh

Namun, beberapa penyakit autoimun pernah dilaporkan terjadi kejadian ikutan setelah pemberian imunisasi, seperti kejadian radang sendi pascaimunisasi tifoid dan MMR.

Sementara itu, terkait pertanyaan apakah imunisasi dapat memicu kejadian penyakit autoimun atau tidak? Agus menjawab, masih menjadi perdebatan.

Di sisi lain, infeksi masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang penting pada pasien autoimun. Pemberian terapi antibodi monoklonal pada penderita autoimun yang diikuti dengan pemberian vaksin hidup dapat menyebabkan reaktivasi dari infeksi tuberkulosis laten, dan memicu timbulnya infeksi oportunistik yang lain.

Dengan menimbang risiko dan keuntungan, Agus berpendapat, pemberian imunisasi MMR tentu lebih baik dan dianjurkan diberikan pada saat kondisi penyakit autoimun sudah stabil atau tidak sedang mengalami perburukan gejala penyakit autoimun.

Selain itu, dosis obat yang dikonsumsi oleh pengidap penyakit autoimun mesti minimal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com