Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tips Terhindar dari Penularan Virus Corona Varian Baru

Kompas.com - 21/06/2021, 09:04 WIB
Irawan Sapto Adhi

Penulis

KOMPAS.com – Kasus infeksi virus corona penyebab Covid-19 di Indonesia terus meningkat belakangan ini.

Hal itu tidak terlepas dari munculnya beberapa varian virus corona baru yang diidentifikasi lebih mudah menginfeksi dan menyebar.

Dari sekian banyak varian baru hasil mutasi virus SARS-CoV-2, varian Delta disebut paling mudah menular.

Baca juga: Bisakah Vaksin Melawan COVID-19 Varian Delta?

Varian Delta atau dikenal juga dengan virus corona B.1.617.2 pertama kali ditemukan di India pada Oktober 2020.

Virus ini sudah masuk ke Indonesia dan menulari puluhan orang warga di beberapa daerah, seperti Kudus, Jawa Tengah (Jateng) dan Jakarta.

Ahli Patologi Klinik Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, dr. Tonang Dwi Ardyanto, Sp.PK., Ph.D, menyampaikan kabar baik bahwa mutasi virus corona yang dianggap begitu “ganas” ini ternyata masih bisa dilawan dengan protokol kesehatan dan memperkuat upaya 3T (testing, tracing, dan treatment), ketika cakupan vaksin belum bisa berefek signifikan.

“Sampai saat ini cara penularan (varian Delta) belum berubah, tetap lewat mata, mulut, dan hidung,” jelas dia, Minggu (20/6/2021).

dr. Tonang menyatakan kita bisa belajar dari India dalam menghadapi ancaman Covid-19 varian baru.

Ahli yang juga menjadi Juru Bicara (Jubir) Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 RS UNS Solo itu membebarkan data, pada 4 April 2021, ketika pertama kali jumlah kasus baru di India kembali menembus 100 ribu (setara dengan puncak 16 September 2020), jumlah testing PCR kembali digenjot lebih dari 1 juta PCR per hari (dari standar minimal 200 ribu per hari).

Baca juga: Mutasi Virus Corona Lebih Mudah Menular, Ini yang Harus Dilakukan

Angka positivitas saat itu kemudian mencapai 7,7 persen. Padahal sudah sempat menyentuh hanya 1,7 persen di awal Februari 2021.

Saat itu, vaksinasi baru mencakup 0,8 persen dosis lengkap dan 5,0 persen satu kali suntikan. Sementara, angka effective reproductive number (Rt) mencapai 1,46. Angka ini meningkat dibandingkan pada awal Februari yang mencapai terendah pada 0,89.

Rt secara sederhana dapat dipahami sebagai angka penambahan kasus yang terjadi di lapangan setelah mendapatkan berbagai intervensi.

Dalam penanganan pandemi, semua harus berusaha menekan Rt sampai minimal kurang dari 1. Kemudian ditekan lagi agar bisa semakin mendekati nol.

Kemudian yang dilakukan di India adalah lockdown sejak 15-30 April 2021, dan diperpanjang.

Kasus memuncak pada tanggal 6 Mei 2020 dengan 400.000 kasus per hari. Jumlah PCR saat itu 1,7 juta PCR per hari dan angka positivitas 22,6 persen.

Saat itu cakupan vaksinasi mencapai 2,3 persen lengkap dan 9,6persen satu kali suntikan. Rt ternyata sudah turun ke angka 1,06.

Baca juga: Sampai Kapan Tetap Harus Disiplin Protokol Kesehatan meski Sudah Divaksin?

Maka kemudian kasus baru berangsur menurun. Tepat 1 bulan kemudian, tanggal 6 Juni 2021 kasus baru tercatat 100.000 kasus. Artinya, udah turun tinggal seperempatnya dari puncak sebelumnya. Jumlah PCR saat itu diketahui sampai 3,1 juta persen hari dan angka positivitas 4,1 persen .

Sedangkan cakupan vaksinasi saat itu mencapai 3,3 persen lengkap dan 13,4 persen satu kali suntikan, dan Rt mencapai 0,71 atau semakin menurun di bawah angka 1.

Saat ini, kasus baru dilaporkan sudah turun mencapai 60.000-an, walau rata-rata 7 harian masih di 80 ribuan. Sedangkan cakupan vaksinasi mencapai 3,5 persen dosis lengkap dan 15,6 persen satu suntikan, dan Rt mencapai 0,67.

Angka ini sudah mengalami banyak penurunan, Rt sudah lebih rendah daripada awal Februari 2021.

Dengan Rt rendah ini, bila bisa dipertahankan, kata dr. Tonang, maka cepat mencapai kasus baru serendah 9.000-an seperti di awal Februari 2021.

Karena itu pula per tanggal 7 Juni 2021 kemarin, mulai ada pelonggaran. Namun bila tidak hati-hati, pelonggaran itu juga bisa menyebabkan "rebond" kasus melonjak lagi.

dr. Tonang menyatakan, data-data yang dia ungkapkan itu bisa saja ada yang kurang akurat, tapi yang pasti ada benang merah yang bisa dipelajari.

Baca juga: Berapa Tinggi Demam yang Jadi Gejala Virus Corona? Ini Kata Dokter

Dia mengidentifikasi bahwa setidaknya ada lima faktor penyebab lonjakan tinggi kasus Covid-19 terjadi di India pada Marer, April, dan Mei. Apa saja itu?

  • Protokol kesehatan melonggar
  • Banyak kerumunan
  • Jumlah testing menurun
  • Cakupan vaksinasi masih rendah
  • Ada varian mutasi virus

Menurut dia, saat ini cakupan vaksinasi di sana tetap belum begitu signifikan. Mutasi virus secara logika juga masih ada. Jadi, mungkin bukan dua faktor itu yang dominan dan signifikan mengatasi lonjakan kasus di India.

Berarti faktor yang berhasil menekan lonjakan kasus adalah pengetatan lagi protokol kesehatan dan meminimalkan kerumunan melalui penerapan lockdown.

“Hal itu didukung dengan penguatan jumlah testing sangat berlipat dari standar minimal dan Identifikasi kasus cepat, diikuti tindak lanjutnya,” analisis dia.

Baca juga: Sudahi Perdebatan, Ini Waktu Berjemur yang Tepat Hasil Kajian Perdoski

Apa yang bisa dilakukan masyarakat dalam menghadapi ancaman Covid-19 varian baru?

dr. Tonang mengatakan, masyarakat harus selalu disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan. Karena protokol itu, maka kesempatan virus masuk ke tubuh manusia semakin kecil.

“Mau apapun mutasi virusnya, apapun variannya, yang penting adalah tidak masuk ke tubuh kita. Protokol kesehatan itu kunci utamanya. Hati-hati dan waspada,” tutur dia.

Semakin lengkap paket protokol kesehatan yang dilakukan, maka kian kecil pula peluang virus bisa masuk ke dalam tubuh manusia.

Apakah tetap perlu vaksinasi?

dr. Tonang menegaskan, masyarakat yang memenuhi persyaratan tentu tetap butuh vaksinasi karena tidak mungkin protokol kesehatan diberlakukan secara ketat dalam jangka lama.

“Maka perlu vaksinasi agar saatnya nanti kombinasi keduanya mampu menekan benar penyebaran virus,” jelas dia.

Setelah itu, protokol kesehatan dapat dilonggarkan. Misalnya, cuci tangan tetap dilanjutkan, tapi masker bisa hanya dipakai pada kondisi berisiko dan kegiatan sosial bisa lebih nyaman dijalankan tanpa jarak terlalu lebar.

“Tapi itu nanti, masih perlu waktu, masih perlu bukti keseriusan kita. Tanpa itu semua, maka risiko ‘rebond’ selalu ada,” jelas dia.

Baca juga: Jangan Keliru, Ini Cara Memakai Masker Kain yang Benar

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com