Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Susah Payah Transpuan Terhimpit di Pusaran HIV/AIDS dan Covid-19

Kompas.com - 20/11/2021, 20:01 WIB
Mahardini Nur Afifah

Penulis

SOLO, KOMPAS.com - Langkah Salsa, 33, gontai ketika menyambangi tiga teman transgender perempuan (transpuan) yang duduk beralas tikar di angkringan salah satu sudut kawasan Giliingan, Kecamatan Banjarsari, Jumat (22/10/2021) sore.

Gerimis tipis mengguyur salah satu kawasan di bagian utara Kota Bengawan itu. Begitu juga dengan raut wajah Salsa yang berselimut mendung.

Salah satu teman baiknya kala itu menyambut Salsa yang terlihat tak bersemangat dengan menanyakan kabarnya. Namun, sosok yang ditanyai cuma menggelengkan kepala.

Setelah menyeruput teh hangat, Salsa bercerita bahwa ia sudah beberapa hari tidak enak badan. Tubuh transpuan pengidap infeksi human immunodeficiency virus (HIV) ini terasa panas dingin dan lemas.

Dalam kurun waktu kurang dari setahun, bobot tubuhnya merosot tajam. Padahal, ia tidak diet khusus atau mengurangi porsi makannya. Alhasil, badan mungilnya yang dulu tampak berisi kini lebih langsing.

Giliran ditanyai apakah sudah mendapat vaksin Covid-19, lagi-lagi Salsa menggelengkan kepala dan merengut.

“Aku masih takut. Karena penyakitku (HIV) sudah lama enggak diperiksa,” tutur dia lirih, ketika ditemui Kompas.com di tempat sama.

Sekira tiga tahun lalu, Salsa didiagnosis terinfeksi HIV dari hasil pemeriksaan voluntary counseling and testing (VCT) rutin kelompok rentan di salah satu puskesmas di Kota Yogyakarta.

Dari Kota Gudeg, transpuan asal Magelang ini mencari ladang penghasilan baru sebagai pekerja seks di Solo. Tak lama berselang, pandemi Covid-19 mengamuk. Ia pun tak lagi leluasa bolak-balik ke Jogja.

Selama beberapa bulan terakhir, Salsa mengaku tidak lagi mengonsumsi obat anti-retro viral (ARV) untuk menghambat perkembangan HIV di dalam tubuhnya.

Bukannya enggan berusaha. Ia pernah meminta obat ARV di salah satu layanan kesehatan tak jauh dari tempat tinggalnya.

Namun, karena tidak membawa rujukan dari penyedia layanan kesehatan sebelumnya, permintaannya ditolak.

Padahal, transpuan ini mendambakan penyakitnya terkendali sebelum disuntik vaksin Covid-19. Ia khawatir, penyakit yang belum pasti terkontrol bakal memengaruhi kondisi tubuhnya kelak.

Sebagai orang dengan HIV (Odiv) yang tidak minum obat ARV dan belum divaksin Covid-19, Salsa termasuk kelompok berisiko tinggi terkena infeksi corona parah, mengingat aktivitasnya yang intens berinteraksi dengan orang lain.

“Selama pandemi, pas sepi ya mau tidak mau cari kerjaan lain. Biasanya aku bantu-bantu di panti pijat. Kalau enggak, ya keliling kampung ngamen,” tutur dia.

Ganjalan administrasi kependudukan

Tak hanya Salsa, transpuan lain yang berisiko tinggi dengan HIV/AIDS dan Covid-19, Lusi, 27, juga belum kebagian jatah vaksin untuk menangkal virus corona.

Ia sudah beberapa bulan tinggal dan mencari uang sebagai pekerja seks di Kota Bengawan.

Tapi, karena kartu tanda penduduk (KTP)-nya hilang, Lusi tak punya nyali mencari akses vaksin Covid-19 yang stoknya terbilang melimpah di Solo.

Seperti diketahui, KTP adalah salah satu syarat administrasi bagi orang dewasa untuk mendapatkan vaksin Covid-19.

Sementara bagi Lusi, pulang ke Palembang dan mencari KTP baru di kampung halamannya tak semudah membalik telapak tangan.

Pasalnya, keluarga Lusi di rumah belum mengetahui transisi gendernya dari laki-laki menjadi perempuan, sejak tiga tahun terakhir.

“Ibuku belum tahu. Jadi, aku belum berani pulang,” tutur dia dengan mata berkaca-kaca.

Sosok berambut pirang sebahu dengan bulu mata lentik dan kuku berhias cat rapi ini bilang, ia juga gamang tatkala mencari surat keterangan domisili sebagai prasyarat pengganti KTP untuk mengakses vaksin Covid-19.

Pertimbangannya, Lusi selama ini tinggal di penginapan atau hotel. Ia belum memiliki tempat tinggal untuk menetap sementara.

Sedangkan untuk mencari tempat tinggal sementara seperti indekos atau rumah kontrakan, transpuan ini dibayang-bayangi rasa was-was bakal ditolak lingkungan sekitar tempat tinggalnya.

“Selama belum dapat vaksin, sebisa mungkin pas kerja aku jaga diri. Kalau enggak mau main aman, ya sudah. Mending enggak saja,” kata Lusi.

Nasib baik memang sempat berpihak pada Lusi, sehingga ia lolos dari Covid-19 ketika wabah virus corona sedang menanjak tinggi beberapa bulan lalu.

Namun, hidup tanpa KTP bakal membuat Lusi rawan kerepotan saat mengakses vaksin Covid-19, tes HIV/AIDS gratis secara berkala, hingga persoalan perbankan.

Jarak yang tak berpihak

Kisah lain datang dari Ika, 38. Transpuan dengan infeksi HIV ini sebelumnya tinggal dan beraktivitas di Kota Solo.

Tapi, karena pekerjaannya sepi dan tak lagi menghasilkan selama pandemi Covid-19, Ika memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya yang berjarak sekitar satu jam perjalanan saat ditempuh dengan sepeda motor dari Kota Bengawan.

Untuk menyambung hidup di rumah, belakangan ia membantu usaha warung mi ayam dan bakso milik kakaknya.

Pekerjaan baru ini sedikit memberikan angin segar setelah selama beberapa bulan Ika “tiarap” tanpa penghasilan.

Tapi, ketika Ika berbincang dengan Kompas.com, Rabu (3/11/2021) siang, ia absen bekerja dan tengah rebahan di rumah.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau