Kondisi tubuhnya sepekan terakhir drop. Ia merasa sulit jauh-jauh dari tempat tidur karena sedang meriang dan flu berat.
“Badan rasanya lagi enggak karu-karuan. Udah aku kasih obat flu beli di warung, tapi tetap enggak sembuh,” keluh dia.
Sebulan sekali, Ika rutin wara-wiri mengambil obat ARV ke salah satu layanan kesehatan di Kota Solo.
Sejak didiagnosis dengan infeksi HIV lima tahun lalu, transpuan ini belum memberitahukan penyakit yang ia idap pada keluarga intinya di rumah. Ika hanya terbuka dengan sang kakak yang selama ini menampung ia bekerja.
Kekhawatiran mendapatkan diskriminasi sebagai penyandang HIV/AIDS dari lingkungan terdekat sekaligus membuat keluarganya bersedih, membuat Ika pilih menutup rapat statusnya sebagai Odiv.
Ketika pulang konsultasi dan mengambil obat ARV, ia sudah ancang-ancang dengan kotak obat khusus tanpa label.
Orang sekitarnya pun mafhum jika Ika rutin minum vitamin untuk menjaga daya tahan tubuhnya yang gampang sakit.
Berbeda dari Salsa dan Lusi, Ika sudah kebagian jatah vaksin Covid-19 dari perangkat desa tempat tinggalnya, pada Oktober 2021.
Kendati awalnya sempat takut divaksin Covid-19 seperti Salsa, Ika kini mengaku lega karena relatif aman dari wabah infeksi virus corona. Selain itu, ia juga tidak merasakan efek samping vaksin Covid-19 yang berarti.
Namun, dengan kondisi kesehatan yang naik turun sebagai pasien HIV yang ditangani kota seberang tempat tinggalnya, belakangan Ika khawatir dengan jarak ke layanan kesehatan yang tak berpihak dan relatif cukup jauh.
Di satu sisi ia takut diskriminasi dari orang sekitar tempat tinggalnya jika mencari layanan kesehatan di dekat rumah. Di sisi lain ia juga dibayang-banyangi kekhawatiran penyakitnya sewaktu-waktu bakal memburuk.
“Apalagi aku masih belum punya BPJS. Sampai sekarang juga belum cek CD4 untuk mengetahui kondisi terakhir penyakitku kayak gimana,” ujar Ika.
Sebagai informasi, tes CD4 adalah pemeriksaan darah untuk menakar kondisi sistem imun orang yang terinfeksi HIV.
CD4 adalah sel darah putih yang berfungsi untuk melawan infeksi kuman biang penyakit, termasuk HIV. Infeksi HIV menyerang dan merusak sel-sel imun ini. Semakin rendah jumlah sel CD4, artinya stadium infeksi HIV semakin parah.
“Terus terang, usaha bantu-bantu jualan selama ini baru bisa menutup modal. Belum ada uang kalau harus cek CD4 mandiri. Mahal sekali,” sambung Ika dengan nada lesu.
Dokter spesialis penyakit dalam divisi penyakit tropik dan infeksi RSUD Dr. Moewardi, dr. R. Satriyo Budhi Susilo, Sp.PD., M.Kes., FINASIM menjelasakan, pengidap HIV/AIDS termasuk kelompok rentan yang perlu dilindungi di saat pandemi Covid-19.
Pengidap HIV/AIDS yang tidak rutin minum ARV dan belum divaksin Covid-19 rawan terkena infeksi berat sampai meninggal dunia ketika terpapar virus corona SARS-CoV-2.
“Seperti penyakit kronis lainnya, ODHA (orang dengan HIV/AIDS) termasuk kelompok prioritas pertama untuk divaksinasi Covid-19,” jelas Satriyo, saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (9/11/2021).
Terkait kekhawatiran sejumlah Odiv yang takut dengan efek samping vaksin Covid-19, Satriyo mengingatkan bahwa manfaat vaksin Covid-19 untuk mencegah infeksi Covid-19 berat dan fatal lebih besar ketimbang risiko efek sampinya yang relatif minim.
“Kekhawatiran efek samping vaksin Covid-19 pada ODHA tidak terbukti. Jangan khawatir,” kata dokter yang ditunjuk sebagai anggota Tim Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imuninasi (KIPI) dan Konsultan Pelayanan Vaksinasi Covid-19 Kota Solo ini.
Dari sisi kesehatan, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi), sejak Mei 2021, telah mempermudah syarat ODHA boleh divaksin Covid-19.
Setiap pengidap HIV/AIDS yang rutin minum obat ARV selama enam bulan terakhir, tidak demam, dan tekanan darahnya di bawah 180/110 mmHg bisa divaksinasi Covid-19.
Rekomendasi ini menghapus ketentuan vaksinasi Covid-19 untuk ODHA yang sebelumnya mensyaratkan jumlah CD4 harus di atas 200 sel/ul.
“Untuk pengidap HIV/AIDS yang sudah divaksin, jangan lupa taat protokol kesehatan. Untuk yang belum, pastikan rutin minum ARV. Lalu hubungi KDS (kelompok dukungan sebaya) atau komunitas untuk mendapatkan vaksin Covid-19. Pasti dibantu,” pesan Satriyo.
Paralegal Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), Uwik berpendapat, problem transpuan dengan HIV/AIDS cukup kompleks, terlebih di masa pandemi Covid-19.
Salah satunya masalah putus obat ARV dan status kesehatan yang tidak terpantau, seperti persoalan yang dihadapi Salsa. Istilah ini di dunia kesehatan dikenal dengan kasus loss to follow up (LFU).
Salsa bukan satu-satunya pengidap HIV/AIDS yang lolos pantau. Sebagai gambaran, data dari Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Solo medio 2005 sampai Agustus 2021 menunjukkan, sebanyak 668 dari 3.805 atau sekitar 17 persen ODHA tercatat lolos pantau.
Ada banyak faktor yang memicu kondisi ini. Selain karena pengidap HIV/AIDS sulit legawa menerima penyakitnya, ada juga ODHA takut didiskriminasi orang terdekat dan lingkungan sekitar, atau kapok mendapatkan stigma dari oknum tenaga kesehatan.
Tak hanya itu, beberapa tahun terakhir sejumlah pekerja seks acapkali pindah dari satu kota ke kota lain untuk mencari pelanggan baru. Kondisi ini rawan menyulitkan pengendalian HIV/AIDS di suatu wilayah.
“Persaingan di antara pekerja seks transpuan cukup ketat. Biasanya, kalau isu susuk enggak mempan, isu yang digunakan ya soal kesehatan. Kalau sudah begitu, mau enggak mau ya mereka cari lahan baru,” beber Uwik.
Uwik menyarankan, pengendalian HIV/AIDS sekaligus perlindungan kelompok rentan seperti transpuan perlu peran optimal warga peduli AIDS (WPA) di setiap kelurahan.
“WPA jangan sebatas sosialisasi bahaya HIV/AIDS di lingkup ibu PKK atau tokoh masyarakat. Idealnya, semua WPA turun ke lapangan untuk memonitor populasi kunci yang kesulitan mengakses layanan kesehatan, termasuk kelompok transpuan,” kata dia.
Harapan agar Pemerintah Kota (Pemkot) Solo lebih memperhatikan layanan kesehatan bagi kelompok rentan seperti transpuan turut disuarakan Pembina Himpunan Waria Solo (Hiwaso) Lousiana Margaretha Pattiwel.