SOLO, KOMPAS.com - Langkah Salsa, 33, gontai ketika menyambangi tiga teman transgender perempuan (transpuan) yang duduk beralas tikar di angkringan salah satu sudut kawasan Giliingan, Kecamatan Banjarsari, Jumat (22/10/2021) sore.
Gerimis tipis mengguyur salah satu kawasan di bagian utara Kota Bengawan itu. Begitu juga dengan raut wajah Salsa yang berselimut mendung.
Salah satu teman baiknya kala itu menyambut Salsa yang terlihat tak bersemangat dengan menanyakan kabarnya. Namun, sosok yang ditanyai cuma menggelengkan kepala.
Setelah menyeruput teh hangat, Salsa bercerita bahwa ia sudah beberapa hari tidak enak badan. Tubuh transpuan pengidap infeksi human immunodeficiency virus (HIV) ini terasa panas dingin dan lemas.
Dalam kurun waktu kurang dari setahun, bobot tubuhnya merosot tajam. Padahal, ia tidak diet khusus atau mengurangi porsi makannya. Alhasil, badan mungilnya yang dulu tampak berisi kini lebih langsing.
Giliran ditanyai apakah sudah mendapat vaksin Covid-19, lagi-lagi Salsa menggelengkan kepala dan merengut.
“Aku masih takut. Karena penyakitku (HIV) sudah lama enggak diperiksa,” tutur dia lirih, ketika ditemui Kompas.com di tempat sama.
Sekira tiga tahun lalu, Salsa didiagnosis terinfeksi HIV dari hasil pemeriksaan voluntary counseling and testing (VCT) rutin kelompok rentan di salah satu puskesmas di Kota Yogyakarta.
Dari Kota Gudeg, transpuan asal Magelang ini mencari ladang penghasilan baru sebagai pekerja seks di Solo. Tak lama berselang, pandemi Covid-19 mengamuk. Ia pun tak lagi leluasa bolak-balik ke Jogja.
Selama beberapa bulan terakhir, Salsa mengaku tidak lagi mengonsumsi obat anti-retro viral (ARV) untuk menghambat perkembangan HIV di dalam tubuhnya.
Bukannya enggan berusaha. Ia pernah meminta obat ARV di salah satu layanan kesehatan tak jauh dari tempat tinggalnya.
Namun, karena tidak membawa rujukan dari penyedia layanan kesehatan sebelumnya, permintaannya ditolak.
Padahal, transpuan ini mendambakan penyakitnya terkendali sebelum disuntik vaksin Covid-19. Ia khawatir, penyakit yang belum pasti terkontrol bakal memengaruhi kondisi tubuhnya kelak.
Sebagai orang dengan HIV (Odiv) yang tidak minum obat ARV dan belum divaksin Covid-19, Salsa termasuk kelompok berisiko tinggi terkena infeksi corona parah, mengingat aktivitasnya yang intens berinteraksi dengan orang lain.
“Selama pandemi, pas sepi ya mau tidak mau cari kerjaan lain. Biasanya aku bantu-bantu di panti pijat. Kalau enggak, ya keliling kampung ngamen,” tutur dia.
Tak hanya Salsa, transpuan lain yang berisiko tinggi dengan HIV/AIDS dan Covid-19, Lusi, 27, juga belum kebagian jatah vaksin untuk menangkal virus corona.
Ia sudah beberapa bulan tinggal dan mencari uang sebagai pekerja seks di Kota Bengawan.
Tapi, karena kartu tanda penduduk (KTP)-nya hilang, Lusi tak punya nyali mencari akses vaksin Covid-19 yang stoknya terbilang melimpah di Solo.
Seperti diketahui, KTP adalah salah satu syarat administrasi bagi orang dewasa untuk mendapatkan vaksin Covid-19.
Sementara bagi Lusi, pulang ke Palembang dan mencari KTP baru di kampung halamannya tak semudah membalik telapak tangan.
Pasalnya, keluarga Lusi di rumah belum mengetahui transisi gendernya dari laki-laki menjadi perempuan, sejak tiga tahun terakhir.
“Ibuku belum tahu. Jadi, aku belum berani pulang,” tutur dia dengan mata berkaca-kaca.
Sosok berambut pirang sebahu dengan bulu mata lentik dan kuku berhias cat rapi ini bilang, ia juga gamang tatkala mencari surat keterangan domisili sebagai prasyarat pengganti KTP untuk mengakses vaksin Covid-19.
Pertimbangannya, Lusi selama ini tinggal di penginapan atau hotel. Ia belum memiliki tempat tinggal untuk menetap sementara.
Sedangkan untuk mencari tempat tinggal sementara seperti indekos atau rumah kontrakan, transpuan ini dibayang-bayangi rasa was-was bakal ditolak lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
“Selama belum dapat vaksin, sebisa mungkin pas kerja aku jaga diri. Kalau enggak mau main aman, ya sudah. Mending enggak saja,” kata Lusi.
Nasib baik memang sempat berpihak pada Lusi, sehingga ia lolos dari Covid-19 ketika wabah virus corona sedang menanjak tinggi beberapa bulan lalu.
Namun, hidup tanpa KTP bakal membuat Lusi rawan kerepotan saat mengakses vaksin Covid-19, tes HIV/AIDS gratis secara berkala, hingga persoalan perbankan.
Kisah lain datang dari Ika, 38. Transpuan dengan infeksi HIV ini sebelumnya tinggal dan beraktivitas di Kota Solo.
Tapi, karena pekerjaannya sepi dan tak lagi menghasilkan selama pandemi Covid-19, Ika memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya yang berjarak sekitar satu jam perjalanan saat ditempuh dengan sepeda motor dari Kota Bengawan.
Untuk menyambung hidup di rumah, belakangan ia membantu usaha warung mi ayam dan bakso milik kakaknya.
Pekerjaan baru ini sedikit memberikan angin segar setelah selama beberapa bulan Ika “tiarap” tanpa penghasilan.
Tapi, ketika Ika berbincang dengan Kompas.com, Rabu (3/11/2021) siang, ia absen bekerja dan tengah rebahan di rumah.
Kondisi tubuhnya sepekan terakhir drop. Ia merasa sulit jauh-jauh dari tempat tidur karena sedang meriang dan flu berat.
“Badan rasanya lagi enggak karu-karuan. Udah aku kasih obat flu beli di warung, tapi tetap enggak sembuh,” keluh dia.
Sebulan sekali, Ika rutin wara-wiri mengambil obat ARV ke salah satu layanan kesehatan di Kota Solo.
Sejak didiagnosis dengan infeksi HIV lima tahun lalu, transpuan ini belum memberitahukan penyakit yang ia idap pada keluarga intinya di rumah. Ika hanya terbuka dengan sang kakak yang selama ini menampung ia bekerja.
Kekhawatiran mendapatkan diskriminasi sebagai penyandang HIV/AIDS dari lingkungan terdekat sekaligus membuat keluarganya bersedih, membuat Ika pilih menutup rapat statusnya sebagai Odiv.
Ketika pulang konsultasi dan mengambil obat ARV, ia sudah ancang-ancang dengan kotak obat khusus tanpa label.
Orang sekitarnya pun mafhum jika Ika rutin minum vitamin untuk menjaga daya tahan tubuhnya yang gampang sakit.
Berbeda dari Salsa dan Lusi, Ika sudah kebagian jatah vaksin Covid-19 dari perangkat desa tempat tinggalnya, pada Oktober 2021.
Kendati awalnya sempat takut divaksin Covid-19 seperti Salsa, Ika kini mengaku lega karena relatif aman dari wabah infeksi virus corona. Selain itu, ia juga tidak merasakan efek samping vaksin Covid-19 yang berarti.
Namun, dengan kondisi kesehatan yang naik turun sebagai pasien HIV yang ditangani kota seberang tempat tinggalnya, belakangan Ika khawatir dengan jarak ke layanan kesehatan yang tak berpihak dan relatif cukup jauh.
Di satu sisi ia takut diskriminasi dari orang sekitar tempat tinggalnya jika mencari layanan kesehatan di dekat rumah. Di sisi lain ia juga dibayang-banyangi kekhawatiran penyakitnya sewaktu-waktu bakal memburuk.
“Apalagi aku masih belum punya BPJS. Sampai sekarang juga belum cek CD4 untuk mengetahui kondisi terakhir penyakitku kayak gimana,” ujar Ika.
Sebagai informasi, tes CD4 adalah pemeriksaan darah untuk menakar kondisi sistem imun orang yang terinfeksi HIV.
CD4 adalah sel darah putih yang berfungsi untuk melawan infeksi kuman biang penyakit, termasuk HIV. Infeksi HIV menyerang dan merusak sel-sel imun ini. Semakin rendah jumlah sel CD4, artinya stadium infeksi HIV semakin parah.
“Terus terang, usaha bantu-bantu jualan selama ini baru bisa menutup modal. Belum ada uang kalau harus cek CD4 mandiri. Mahal sekali,” sambung Ika dengan nada lesu.
Pengidap HIV/AIDS yang tidak rutin minum ARV dan belum divaksin Covid-19 rawan terkena infeksi berat sampai meninggal dunia ketika terpapar virus corona SARS-CoV-2.
“Seperti penyakit kronis lainnya, ODHA (orang dengan HIV/AIDS) termasuk kelompok prioritas pertama untuk divaksinasi Covid-19,” jelas Satriyo, saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (9/11/2021).
Terkait kekhawatiran sejumlah Odiv yang takut dengan efek samping vaksin Covid-19, Satriyo mengingatkan bahwa manfaat vaksin Covid-19 untuk mencegah infeksi Covid-19 berat dan fatal lebih besar ketimbang risiko efek sampinya yang relatif minim.
“Kekhawatiran efek samping vaksin Covid-19 pada ODHA tidak terbukti. Jangan khawatir,” kata dokter yang ditunjuk sebagai anggota Tim Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imuninasi (KIPI) dan Konsultan Pelayanan Vaksinasi Covid-19 Kota Solo ini.
Dari sisi kesehatan, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi), sejak Mei 2021, telah mempermudah syarat ODHA boleh divaksin Covid-19.
Setiap pengidap HIV/AIDS yang rutin minum obat ARV selama enam bulan terakhir, tidak demam, dan tekanan darahnya di bawah 180/110 mmHg bisa divaksinasi Covid-19.
Rekomendasi ini menghapus ketentuan vaksinasi Covid-19 untuk ODHA yang sebelumnya mensyaratkan jumlah CD4 harus di atas 200 sel/ul.
“Untuk pengidap HIV/AIDS yang sudah divaksin, jangan lupa taat protokol kesehatan. Untuk yang belum, pastikan rutin minum ARV. Lalu hubungi KDS (kelompok dukungan sebaya) atau komunitas untuk mendapatkan vaksin Covid-19. Pasti dibantu,” pesan Satriyo.
Paralegal Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), Uwik berpendapat, problem transpuan dengan HIV/AIDS cukup kompleks, terlebih di masa pandemi Covid-19.
Salah satunya masalah putus obat ARV dan status kesehatan yang tidak terpantau, seperti persoalan yang dihadapi Salsa. Istilah ini di dunia kesehatan dikenal dengan kasus loss to follow up (LFU).
Salsa bukan satu-satunya pengidap HIV/AIDS yang lolos pantau. Sebagai gambaran, data dari Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Solo medio 2005 sampai Agustus 2021 menunjukkan, sebanyak 668 dari 3.805 atau sekitar 17 persen ODHA tercatat lolos pantau.
Ada banyak faktor yang memicu kondisi ini. Selain karena pengidap HIV/AIDS sulit legawa menerima penyakitnya, ada juga ODHA takut didiskriminasi orang terdekat dan lingkungan sekitar, atau kapok mendapatkan stigma dari oknum tenaga kesehatan.
Tak hanya itu, beberapa tahun terakhir sejumlah pekerja seks acapkali pindah dari satu kota ke kota lain untuk mencari pelanggan baru. Kondisi ini rawan menyulitkan pengendalian HIV/AIDS di suatu wilayah.
“Persaingan di antara pekerja seks transpuan cukup ketat. Biasanya, kalau isu susuk enggak mempan, isu yang digunakan ya soal kesehatan. Kalau sudah begitu, mau enggak mau ya mereka cari lahan baru,” beber Uwik.
Uwik menyarankan, pengendalian HIV/AIDS sekaligus perlindungan kelompok rentan seperti transpuan perlu peran optimal warga peduli AIDS (WPA) di setiap kelurahan.
“WPA jangan sebatas sosialisasi bahaya HIV/AIDS di lingkup ibu PKK atau tokoh masyarakat. Idealnya, semua WPA turun ke lapangan untuk memonitor populasi kunci yang kesulitan mengakses layanan kesehatan, termasuk kelompok transpuan,” kata dia.
Harapan agar Pemerintah Kota (Pemkot) Solo lebih memperhatikan layanan kesehatan bagi kelompok rentan seperti transpuan turut disuarakan Pembina Himpunan Waria Solo (Hiwaso) Lousiana Margaretha Pattiwel.
Transpuan yang akrab disapa Mamah Londo ini berpendapat, akses kesehatan yang semestinya bisa dijangkau semua kalangan terkadang terganjal birokrasi dan tersekat batasan wilayah.
“Selama ini yang dibantu (akses kesehatan) kebanyakan yang masuk KDS (kelompok dukungan sebaya) saja. Hanya yang pegang KTP Solo. Masih ada kotak-kotak per wilayah,” ujar dia ketika ditemui terpisah.
“Kadang yang punya identitas (KTP) saja sulit, apalagi yang sama sekali enggak punya,” kata dia lagi.
Menurut Mamah Londo, dukungan pemerintah pada kelompok rentan di masa pandemi Covid-19 sangat diperlukan.
Terlebih, beberapa transpuan kesulitan mencari nafkah selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) ketat.
Ia membeberkan, para transpuan yang bekerja sebagai pekerja seks kini tak boleh lagi mangkal di jalan. Tapi, di sisi lain mereka juga tidak diberi solusi, misalkan kesempatan pekerjaan lain.
“Kalau tidak ada bantuan langsung, paling tidak berikan kemudahan layanan kesehatan,” tutur dia.
Menanggapi beragam dinamika transpuan dengan atau berisiko tinggi HIV/AIDS serta Covid-19 di Kota Bengawan, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Solo Widdi Srihanto menyatakan, pihaknya berkomitmen bakal memperhatikan kelompok rentan ini.
Terkait kesulitan akses vaksin Covid-19 untuk transpuan yang belum memiliki KTP atau surat keterangan domisili, Widdi menyatakan KPA bersedia membantu memfasilitasinya.
“Biasanya ketika komunitas waria melaporkan ada anggotanya yang tidak punya KTP dan mau divaksin, kami upayakan bantuan dengan titip domisili ke beberapa WPA biar dapat vaksin,” kata Widdi, saat diwawancarai di kantornya.
KPA tidak menampik pemantauan transpuan sebagai kelompok rentan HIV/AIDS tak mudah. Terlebih di tengah fenomena mobilitas tinggi sejumlah anggota kelompok ini.
“Prinsipnya kami tidak mengotak-ngotakkan wilayah. Kalau misal ada temuan positif HIV di sini, ya akan kami tangani di sini atau rujuk ke daerah asalnya bila ingin berobat di sana. Asalkan ikut prosedur yang berlaku,” ujar dia.
Terpisah, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Solo Yohanes Pramono mengatakan, pihaknya belum mendapatkan laporan kendala sejumlah transpuan di Solo yang tidak memiliki dokumen kependudukan seperti KTP, KK, akta kelahiran, dll.
“Sampai sekarang belum ada permohonan layanan dokumen kependudukan dari transgender,” kata dia.
Menurut Pramono, Disdukcapil bakal membantu memfasilitasi transgender, termasuk para transpuan, yang belum memiliki dokumen kependudukan.
Sebagai informasi, Kementerian Dalam Negeri, sejak April 2021, berkomitmen mempermudah transgender dan kelompok rentan lain untuk mengurus dokumen kependudukan.
Inisiasi kemudahan layanan kependudukan bagi transgender telah dimulai di beberapa kota besar, seperti Jabodetabek dan DIY.
Disdukcapil bakal memverifikasi data dokumen kependudukan transgender yang sebelumnya sudah pernah punya KTP, KK, atau akta kelahiran melalui Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).
Jika datanya sesuai dengan SIAK, dokumen kependudukan itu bisa langsung dicetak, sehingga transgender tidak perlu mengurus ke tempat asalnya.
Sedangkan bagi transgender yang berdomisili di Solo tapi belum pernah punya dokumen kependudukan, mereka perlu menyertakan surat keterangan dari RT/RW tempat tinggalnya. Syarat ini sebagai bukti yang bersangkutan benar-benar warga setempat.
“Kalau kesulitan mencari surat keterangan domisili dari RT/RW, bisa minta bantuan ke kelurahan atau dinas sosial,” jelas dia.
Komitmen beberapa pihak yang bakal mengakomodasi hak dasar para transpuan menjadi suntikan angin segar bagi salah satu bagian dari kelompok rentan ini.
Hiwaso menaruh harapan besar pada pemerintah daerah yang tengah menjabat. Asa tersebut agaknya tak muluk-muluk, mengingat salah satu wadah komunitas transpuan ini sempat memberikan dukungan suara pada pasangan Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa di Pemilihan Kepala Daerah 2019.
“Waria cuma minta diakui dan dimanusiakan,” kata Mamah Londo mewakili puluhan anggota komunitasnya.
Kompas.com mengonfirmasi Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka ihwal kesulitan sejumlah transpuan yang belum mendapatkan akses vaksin Covid-19 dan layanan kesehatan di Solo, Senin (8/11/2021).
Saat ditanyai bentuk komitmen dan dukungan pemerintah pada transpuan, Orang Nomor Satu di Solo ini tersenyum.
Sembari berjalan cepat menuju ruang kerjanya, sosok yang September 2021 memboyong penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) Kategori Madya karena dinilai berkomitmen mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender ini menjawab singkat, “Ya, nanti dibantu.”
Transpuan yang memiliki persoalan akses layanan kesehatan, admisnistrasi kependudukan, atau hak dasar lain bisa meminta bantuan sejumlah lembaga swadaya masyarakat.
Untuk wilayah Jawa Tengah, Anda bisa mengontak Yayasan SPEK-HAM Solo yang beralamat di Jl Srikoyo No. 20 RT 001/RW 004 Karangasem, Solo, via telepon 0271-714057, atau surat elektronik (surel) spek-ham@indo.net.id.
Selain itu, transpuan di daerah lain dapat meminta bantuan Konsorsium Crisis Response Mechanism (CRM) dengan menghubungi layanan aduan via surel contact@crm-consortium.org.
***
Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.