Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dikdik Kodarusman
Dokter RSUD Majalengka

Dokter, peminat kajian autofagi. Saat ini bekerja di RSUD Majalengka, Jawa Barat

Infeksi Bukan Salah Kuman atau Lingkungan tetapi Soal Imunitas Tubuh

Kompas.com - 24/08/2022, 12:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM dunia kesehatan berkembang dua pendapat tentang asal usul penyakit. Pertama germ theory (teori germinantif/kuman), di mana penyebab penyakit adalah mikroorganisme patogen.

Kedua, terrain theory (teori lingkungan), di sini penyebabnya adalah lingkungan tidak sehat. Lingkungan banyak mengandung polusi. Baik itu polusi udara, air, suara, bahkan cahaya.

Teori kuman hingga saat ini lebih banyak didukung dalam dunia kedokteran. Tak heran, dalam penelitian dan praktik pelayanan, upaya pemberantasan kuman selalu jadi fokus. Pemberian antibiotik, antivirus, dan antiparasit selalu jadi pelengkap resep dokter.

Baca juga: Vaksinasi Vs Infeksi, Mana yang Lebih Meningkatkan Antibodi Covid-19?

Kayaknya dokter tidak pede kalau mengobati pasien tanpa antibiotik. Pemberian antibiotik sedemikian luas karena hampir semua penyakit dianggap memungkinkan terkontaminasi oleh berbagai kuman. Kontaminasi ini akan memperburuk kondisi penyakit.

Pandangan ini dibantah sangat keras oleh penganut teori lingkungan. Menurut para penganut teori lingkungan, mikroorganisme berfungsi sebagai pengurai. Dengan  adanya mikroorganisme, khususnya bakteri, semua zat sampah akan dipecah menjadi metabolit yang lebih sederhana dan dapat digunakan tubuh.

Infeksi merupakan upaya bakteri membersihkan zat sampah tersebut. Kerusakan sel lebih diakibatkan oleh adanya timbunan zat-zat kimia berbahaya dalam tubuh.

Zat-zat kimia ini yang akan mengakibatkan radikal bebas dan penuaan sel. Itulah sebabnya bakteri menginfeksi, untuk melepaskan zat-zat berbahaya tersebut.

Pendekatan terapinya tentu dengan menghindari sumber polutan. Mengonsumsi obat-obatan atau suplemen yang bisa mendetoksifikasi tubuh. Makan makanan yang bersifat probiotik dan prebiotik. Meningkatkan imunitas tubuh.

Sistem imunitas tubuh

Posisi autofagi di mana? Tidak keduanya. Dalam pembelajaran tentang autofagi justru ditemukan sumber penyakit adalah sistem imunitas tubuh. Sistem imunitas inilah yang jadi fokus mekanisme autofagi untuk diperbaiki.

Mengejutkan? Memang. Sistem imunitas ternyata lebih tepat dikatakan sebagai mekanisme respons tubuh.

Mirip istilah servo mekanis dalam kelas motivasi. Atau mekanisme pertahanan mental dalam psikiatri. Semuanya berkaitan dengan memori yang terbentuk sebagai adaptasi terhadap rangsang lingkungan.

Baca juga: Selain Meningkatkan Imunitas Tubuh, Puasa juga Menurunkan Risiko Stroke hingga Alzheimer

Jangan berpikir memori hanya ada dalam pikiran saja. Dalam sel juga terdapat kecerdasan memori yang disebut kode genetik. Kode genetik ini terbagi dua menjadi DNA dan RNA.

Kode genetik itu akan berekspresi pada performa sel. Performa ini terutama digunakan untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Fungsi gen yang utama adalah memberikan instruksi sintesa berbagai macam protein dan peptida.

Selanjutnya protein-protein dan peptida-peptida ini  akan bereaksi secara enzimatis, berpasangan. Ketika suatu protein atau peptida bertemu dengan protein atau peptida lain yang merupakan pasangannya maka akan tercetus suatu reaksi, suatu gerak. Reaksi atau gerak ini tidak hanya satu tapi berantai.

Karena ketika satu sisi berpasangan dengan peptida atau protein lain, sisi lain terpicu untuk bereaksi dengan protein atau peptida lainnya. Ini yang terjadi pada reaksi antigen-antibodi. Bahkan hampir seluruh proses tubuh terjadi seperti itu.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau