HARI ASI (Air Susu Ibu) Sedunia, tepatnya Pekan Menyusui Sedunia (World Breastfeeding Week) yang diperingati setiap 1 - 7 Agustus mengingatkan kembali pentingnya menyusui untuk bayi.
Menyusui selalu dikaitkan dengan upaya pencegahan kekurangan gizi (malnutrisi) pada bayi dan anak, termasuk stunting yang menjadi ancaman generasi masa depan Indonesia.
Stunting merupakan kondisi ketika anak balita (bawah lima tahun) memiliki tinggi badan di bawah rata-rata akibat masalah gizi kronis yang disebabkan asupan gizi yang kurang dalam waktu lama, terjadi mulai dari dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun atau periode 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
Baca juga: Nutrisi ASI Penting untuk Perkembangan Otak Bayi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kembali merilis berita yang mengungkapkan jangkauan yang mencengangkan dari pemasaran susu formula yang eksploitatif bertajuk “WHO Reveals Shocking Extent of Exploitative Formula Milk Marketing”. Informasi tersebut dipublikasikan pada awal kuartal kedua tahun 2022 di situs resmi WHO.
Berita itu merupakan pemutakhiran dari laporan WHO sebelumnya yang intinya mengajak kita menjauhkan bayi kita dari pemasaran agresif susu formula karena membahayakan kesehatan bayi secara global.
Namun kini seolah menjadi sebuah peristiwa paradoksal, ketika susu formula yang sekalipun telah dikecam banyak pihak, mulai dari WHO hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal penggiat ASI, tetapi faktanya masyarakat terus saja membelinya.
Benarkah hal ini disebabkan oleh pemasaran yang eksploitatif dan agresif semata? Mari kita lihat permasalahan tersebut dengan sudut pandang yang lebih beragam disertai data empiris yang ada.
Angka penjualan susu formula terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Seolah kecaman-kecaman tersebut di atas tidak mampu memberikan pengaruh yang bermakna terhadap perubahan sikap masyarakat secara umum.
Kenyataan lainnya, di tengah sejumlah kecaman tersebut, menurut WHO, industri susu formula secara global merupakan bisnis dengan nilai fantastis, yaitu sebesar 55 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 795 triliun (nilai kurs Rp 14.464 per dolar AS).
Harus diakui bahwa literasi gizi masyarakat kita sebagian besar masih rendah. Hal ini menjadi salah satu sebab utama masih tingginya konsumsi susu formula.
Minat baca masyarakat memang tinggi. Namun sayangnya hal itu tidak linier dengan daya baca mereka. Musababnya masyarakat banyak membaca informasi terkait susu formula dan air susu ibu (ASI), tetapi hanya mengandalkan bacaan dari sumber-sumber relatif yang kurang kredibel dan rawan hoaks seperti media sosial.
Media sosial memang sudah sangat lazim dan bahkan menjadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakat Indonesia. Menurut DataReportal, sejak Januari 2022, sebanyak 191,4 juta orang adalah pengguna aktif media sosial, baik di YouTube, Facebook , Instagram, TikTok, Whatsapp, maupun Twitter.
Baca juga: Cara Tepat Menyiapkan Susu Formula untuk Si Kecil
Angka tersebut setara dengan 68,9 persen total populasi Indonesia, atau meliputi hampir semua orang berusia 15 – 64 tahun.
Kondisi di atas ternyata memberikan celah adanya operasi digital marketing yang telah dirancang sedemikian rupa oleh industri sehingga sekilas tampak bukan seperti sebuah promosi atau iklan. Produsen dan distributor susu formula sering menggunakan strategi pemasaran digital di berbagai saluran online dan platform media sosial karena jangkauan dan dampak promosinya yang dramatis dan signifikan.
Teknologi digital menawarkan alat pemasaran baru yang sangat persuasif, sangat hemat biaya, dan sering tidak mudah dikenali sebagai promosi susu formula. Sasaran promosi ini adalah ibu hamil dan ibu dari bayi dan balita yang rentan pengaruh iklan terutama di negara-negara berkembang.