Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Urgensi dan Tantangan Kepemimpinan Kesehatan di Indonesia

Kompas.com - 08/03/2023, 09:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ancaman Kesehatan di Masa Depan

Jika kita membuat daftar potensi ancaman yang berdampak bagi dunia kesehatan, isunya cukup banyak, tetapi ada dua masalah yang harus menjadi perhatian khusus para pemimpin di dunia kesehatan: penyakit dan perubahan iklim. Dua isu ini saling terhubung, walaupun tidak langsung.

Terlepas dari itu, dunia kesehatan menghadapi dua ancaman sekaligus. Pakar Kesehatan Lingkungan dan Kedokteran Keluarga FKKMK UGM, Profesor Hari Kusnanto Josef, menyebutkan bahwa perubahan iklim yang terjadi akan mengancam ketahanan pangan. Hal ini cukup logis mengingat pangan merupakan bagian penting dari kesehatan masyarakat.

Terkait pangan, Indonesia memiliki masalah stunting (kekurangan gizi) yang perlu kita benahi bersama. Berdasarkan data terbaru, tingkat stunting turun dari 24,4 persen di tahun 2021 menjadi 21,6 persen di tahun 2022. Kerja keras para pemimpin kesehatan perlu kita apresiasi. Akan tetapi, angka ini masih tergolong banyak.

Selain itu, ketika perubahan iklim menjadi semakin parah, angka stunting bisa berpotensi meningkat kembali. Ini adalah tantangan serius yang perlu kita pikirkan bersama.

Di samping itu, para peneliti memperkirakan bahwa ada 2 persen kemungkinan kita akan menghadapi pandemi skala Covid-19. Angka ini memang kecil, tetapi kita perlu memikirkan kembali bagaimana pandemi Covid-19 terjadi. Apakah ada yang memperkirakan bahwa dunia harus melawan Covid-19? Tidak. Sehingga, persentase kecil pun perlu kita perlakukan serius agar lebih siap menghadapinya.

Tak hanya itu, perubahan iklim juga meningkatkan risiko untuk terjangkit penyakit menular. Studi dari Mora et al (2022) menemukan bahwa dari 375 penyakit menular yang diteliti, ada 218 (58 persen) yang diperparah perubahan iklim. Ini masalah serius dan bisa menjadi tantangan berat bagi para pemimpin di dunia kesehatan.

Mengingat ancaman eksternal yang sulit diprediksi, para pemimpin di dunia kesehatan perlu mengencangkan sabuk pengamannya. Menguatkan kapabilitas teknologi dan sumber daya manusia di setiap rumah sakit harus menjadi urgensi.

Karena itu, pekerjaan rumah para pemimpin dunia kesehatan adalah memperkuat manajemen organisasi, teknologi kesehatan, dan yang paling penting manusianya. Setidaknya, ketiga tiga hal ini bisa terus diperkuat, ancaman eksternal bisa diminimalisir.

Masalah di Dunia Kesehatan

Sayangnya, pemimpin harus menghadapi tantangan internal yang cukup pelik untuk diselesaikan, khususnya di aspek sumber daya manusia. Menurut WHO tahun 2019, rasio dokter spesialis di Indonesia 0,47 dari 1.000 penduduk. Artinya, Indonesia tidak memiliki satu dokter untuk 1.000 penduduk.

Mengutip dari Katadata, Indonesia masih kekurangan 130 ribu dokter dari 270 ribu dokter yang dibutuhkan. Salah satu alasan kurangnya jumlah dokter adalah biaya pendidikan dokter yang terbilang mahal.

Belum lagi, setelah lulus S1, calon dokter juga perlu menempuh pendidikan lanjutan. Jenjang pendidikan yang lama serta biaya yang di atas rata-rata bisa mengurungkan niat para calon dokter brilian yang berasal dari keluarga tidak mampu.

Baca juga: Kepemimpinan Kasual, seperti Apa Urgensinya di Masa Sulit?

Persebaran dokter juga belum merata. Mengutip data dari Katadata tahun 2020, dari 130 ribu dokter, sebanyak 71 ribu masih berpusat di pulau Jawa. Sisanya tersebar di pulau Sumatera (26.193), Sulawesi (9.495), Bali & Nusa Tenggara (7.034), Kalimantan (7.022), dan Maluku & Papua (2.661).

Melihat data ini, perlu adanya mekanisme pemerataan dokter di setiap pulau, sehingga masyarakat yang tidak bisa dijangkau mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal.

Selain masalah terbatasnya dokter, kondisi kesehatan mental para tenaga kesehatan perlu kita soroti. Di masa pandemi (tahun 2020), 83 persen tenaga kesehatan mengalami burnout.

Kita menyadari bahwa ketika seseorang mengalami burnout, itu menjadi pertanda untuk lebih memperhatikan apa yang terjadi di dalam mental kita. Apakah fenomena ini dapat terulang?

Meskipun kondisi dunia membaik selepas pandemi, tetapi kita tidak bisa pungkiri bahwa kita membutuhkan banyak tenaga kesehatan.

Menurut data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri tahun 2021, dari 270 juta penduduk Indonesia, hanya 0,21 persen yang menjadi tenaga kesehatan. Sebagian besar tenaga kesehatan pun terdiri dari perawat yang jumlahnya mencapai 511.191 orang dari 2.287.142 menurut data BPS tahun 2021.

Tak hanya itu, masih cukup banyak rakyat Indonesia yang memilih untuk berobat ke luar negeri. Hal ini diungkapkan oleh Presiden Jokowi. Presiden mengatakan. “Berdasarkan data sebanyak 2 juta masyarakat Indonesia masih melakukan pengobatan di luar negeri di banding negeri sendiri.”

Presiden Jokowi juga mengemukakan, konsekuensi dari fenomena ini membuat Indonesia kehilangan Rp 165 triliun. Fenomena ini adalah masalah yang serius yang harus ditangani kepemimpinan di dunia kesehatan.

Preferensi rakyat Indonesia yang lebih memilih untuk berobat ke luar negeri mengindikasikan ada yang salah dengan dunia kesehatan kita, khususnya rumah sakit. Penyebab masalah ini perlu dideteksi agar pemimpin bisa merumuskan langkah yang tepat untuk menyelesaikan fenomena ini.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau