KOMPAS.com - Stunting terjadi pada anak usia balita, meski efek sampingnya berpengaruh hingga ia dewasa.
Prof.dr. Damayanti R Sjarif, Ph.D,Sp.A(K) mengatakan bahwa proses terjadinya stunting dimulai karena anak kekurangan gizi kronik atau kekurangan gizi berulang.
"Awalanya, anak normal kekurangan gizi. Kemudian, berat badannya tidak cukup, meski masih naik," kata Damayanti kepada Kompas.com melalui Zoom pada Rabu (5/4/2023).
Baca juga: Mitos Semua Anak Pendek Stunting, Ini Faktanya...
Ketika anak mengalami kekurangan gizi, kenaikan berat badannya akan berkurang atau tidak ideal. Ini disebut juga sebagai tahap anak mengalami weight faltering.
"Jadi, weight faltering adalah tanda awalnya (stunting)," ucap Ketua Satgas Stunting Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Jika diabaikan semakin lama, anak dengan weight faltering bisa mengalami underweight.
Weight faltering dan underweight akan berlanjut menyebabkan imunitas anak menurun dan mudah terkena penyakit.
"Kalau sudah terkena penyakit, anak akan enggan makan. Sehingga, memperburuk keseluruhan kondisinya," ungkapnya.
Baca juga: Paparan Asap Rokok Bisa Jadi Faktor Tak Langsung Penyebab Stunting
Pada saat itu terjadi, hormon pertumbuhan akan menurun signifikan.
"Kalau tidak segera diatasi, terjadilah perawakan pendek yang kita sebut stunting," terangnya.
Pengertian stunting adalah balita yang perawakannya pendek dan dibuktikan pemeriksaan tinggi badan menurut umur dan diplot di grafik WHO menunjukkan di bawah minum 2 standar deviasi (-2SD).
Oleh karena itu, ia menerangkan bahwa kita tidak bisa memukul rata semua anak pendek pasti mengalami stunting.
"Anak pendek stunting, hanya jika ia pendek karena kekurangan gizi kronik," tegasnya mengingat seorang anak bisa pendek karena faktor gen orang tua.
Baca juga: Telur untuk Mencegah Stunting, Begini Saran Ahli...
Ada beberapa hal yang bisa memengaruhi anak kekurangan gizi kronik hingga menyebabkan stunting.
Sebanyak 20 persen anak mengalami stunting karena ia lahir prematur atau berat badan lahir rendah (BBLR).