SAYA termasuk orang yang terlambat mengurangi asupan gula. Baru beberapa bulan terakhir ini, saya bisa lepas dari gula.
Dahulu saya beranggapan bahwa minum teh yang rutin saya lakukan setiap pagi dan sore itu mestinya manis, agar terasa nikmat seperti yang saya rasakan selama ini.
Saya terbiasa minum soft drink, kopi, coklat, jus buah, dan sebagainya. Semuanya berasa manis. Aneka ragam minuman dalam kemasan yang banyak tersedia di toko swalayan dekat rumah, membuat saya tertarik untuk mencobanya, berganti-ganti.
Lagi pula saya pernah membaca, entah di mana, bahwa asupan gula maksimum yang disarankan otoritas kesehatan Amerika Serikat adalah maksimum 9 sendok makan per hari. Jadi mengonsumsi gula kurang dari itu masih baik-baik saja.
Belakangan saya baru tahu bahwa Kementerian Kesehatan memberi patokan konsumsi gula maksimum sebanyak 5 sendok makan atau sekitar 50 gram per hari.
Dan angka itu merupakan akumulasi dari jumlah gula yang terkandung dalam makanan dan minuman, mungkin juga termasuk buah-buahan.
Padahal saya juga terbiasa makan roti, jajanan pasar, dan cemilan lain yang umumnya manis, termasuk martabak, favorit kami sekeluarga.
Bahkan lidah saya sangat terbiasa makan sayur asem dan sayur bayam yang sedikit manis, demikian juga sambal, ikan bakar, keripik, dan lain-lain.
Jika gula yang berasal dari semua makanan dan minuman itu digabung, maka batas konsumsi maksimal tersebut agaknya sudah terlampaui, selama bertahun-tahun.
Tapi itu semua tinggal kenangan. Kini minuman dan makanan manis telah saya hindari. Kondisi kesehatan badan memaksa saya untuk meninggalkan gula.
Pada hari Lebaran yang baru saja berlalu, saya hanya memakan hidangan tanpa gula, tepatnya dengan sedikit gula.
Konsumsi gula berlebih adalah sumber malapetaka. Pasalnya konsumsi gula berlebih menyebabkan kegemukan badan atau obesitas.
Penduduk Indonesia, seperti halnya banyak penduduk negara lain, semakin banyak yang mengalami obesitas sejalan dengan kemakmuran yang meningkat.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, sebanyak 10,5 persen penduduk Indonesia mengalami obesitas.
Jumlah itu kemudian meningkat menjadi 14,8 persen (2013), dan kemudian meningkat lagi menjadi 21,8 persen (2018). Ini berarti dari setiap lima orang ada satu orang yang gemuk berlebihan.
Sebagai perbandingan prevalensi obesitas di Amerika Serikat adalah dua per tiga.
Obesitas jelas berkaitan dengan asupan makanan. Kalangan ahli gizi menyimpulkan bahwa 80 persen obesitas dipengaruhi oleh pola makan, sedangkan 20 persen dipengaruhi oleh aktivitas fisik (Kompas.id, 30/7/2018).
Pola makan yang keliru itu antara lain mengonsumsi gula dan karbohidrat lain, seperti nasi, terlalu banyak.
Gula dan nasi yang masuk ke dalam tubuh diolah oleh hormon insulin yang diproduksi kelenjar pankreas menjadi glukosa.
Glukosa dikirim ke seluruh bagian tubuh sebagai energi. Glukosa yang berlebih disimpan sebagai cadangan energi dalam hati dan otot. Lemak dalam otot inilah yang membuat tubuh menjadi gemuk.
Glukosa yang berlebih membuat produksi insulin terganggu, dan menyebabkan insulin menjadi resisten.
Mengutip artikel Mechanism Linking Diabetes Mellitus and Obesity, “Jumlah asam lemak nonesterifikasi, gliserol, sitokin, penanda proinflamasi dan zat-zat lain yang terlibat dalam perkembangan resistensi insulin pada orang dengan kelebihan berat badan mengalami peningkatan.” (cnnindonesia.com, 28/9/2020).
Data Riskesdas menyebutkan bahwa prevalensi penderita diabetes di Indonesia berdasarkan pemeriksaan gula darah cenderung terus meningkat, dari 5,7 persen (2007) menjadi 6,9 persen (2013), kemudian menjadi 8,5 persen (2018).
Prevalensi ini menempatkan Indonesia pada peringkat tertinggi keenam di dunia setelah China, India, Amerika Serikat, Brasil, dan Meksiko. Penderita diabetes tercatat sebanyak 10,7 juta orang pada 2019 (Kompas.id, 7/2/2023).
Kejadian gagal ginjal pada anak yang terkuak beberapa bulan lalu membuka fakta bahwa kasus diabetes pada anak telah meningkat pesat, sebagaimana dilaporkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), yaitu 70 kali lipat antara 2010 hingga Januari 2023.
Sebagian besar (90 persen pada 2019) kasus pada anak merupakan diabetes melitus tipe 1 (DM-1), selebihnya diabetes melitus tipe 2 (DM-2).
Seperti dikutip Litbang Kompas (7/2/2023), penderita DM-1 memerlukan terapi insulin secara rutin seumur hidup untuk menjaga kadar gula tetap terkontrol.
Sedangkan DM-2 terjadi karena sel-sel tubuh kurang sensitif sehingga tidak bisa mengoptimalkan insulin meskipun produksinya normal.
Sangat mungkin penyebab gagal ginjal pada anak-anak itu terkait dengan populernya berbagai minuman kreasi baru yang digemari.
Menurut Channel News Asia, minuman boba mengandung lebih banyak gula dibandingkan minuman soda yang dikenal mengandung banyak gula.
Segelas brown sugar boba milk ukuran 500 mililiter mengandung 92 gram gula, tiga kali lipat dibandingkan dengan kadar gula dalam 320 mililiter kaleng minuman soda bermerek terkenal (Kompas.id, 12/1/2020).
Dapat disimpulkan bahwa konsumsi gula yang tinggi menjadi salah satu penyebab utama timbulnya penyakit diabetes, yang menjadi pencetus kelainan ginjal, gagal jantung, dan kebutaan.
Tidak heran, diabetes biasa disebut sebagai ibu dari berbagai penyakit berat. Diabetes juga penyebab kematian yang tertinggi ketiga setelah stroke dan penyakit jantung koroner.
Perhatian pemerintah pada konsumsi gula masyarakat yang berlebih dapat dimengerti karena pengobatan penyakit gagal ginjal memerlukan biaya besar.
Pembiayaan untuk penyakit gagal ginjal pada 2020 mencapai Rp 2,2 triliun. Sedangkan untuk pelayanan cuci darah menghabiskan biaya Rp 5,2 triliun pada 2020 (Kompas.id, 9/3/2022).
Upaya pemerintah untuk membatasi asupan gula adalah menetapkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017 (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat).
Sebelumnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2015 (Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak, serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji) mewajibkan produsen makanan dan minuman memberi informasi yang jelas mengenai bahan tambahan dalam pangan serta pesan kesehatan.
Upaya lain adalah (akan) menetapkan cukai minuman manis. Pasalnya konsumsi produk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) di Indonesia meningkat 15 kali lipat dalam 20 tahun terakhir.
MBDK terdiri dari air teh kemasan, sari buah kemasan, minuman ringan, dan minuman kesehatan.
Pengenaan cukai pada MBDK ditujukan untuk menekan risiko obesitas serta penyakit tidak menular, seperti diabetes, kerusakan liver dan ginjal, jantung, serta beberapa jenis kanker.
Dengan adanya cukai, misalnya sebesar Rp 1.500 per liter untuk teh kemasan dan Rp 2.500 per liter untuk minuman berkarbonasi, diharapkan konsumsi MBDK menurun dan selanjutnya mengurangi beban pembiayaan kesehatan.
Pemerintah dan DPR perlu segera memutuskan peraturan tentang cukai minuman manis tersebut, agar pelayanan kesehatan semakin baik, yang bermuara pada meningkatnya kesehatan masyarakat.
Dalam prosesnya, pelaku usaha skala kecil perlu dilibatkan, jangan sampai kebijakan baru ini mematikan usaha mereka.
Gula memang manis dan membuat nikmat. Namun konsumsi gula yang berlebih membuat orang menderita dan pemerintah kesulitan untuk membiayai penanganannya.
Pada saat negara kekurangan dokter, puskesmas belum merata, peralatan canggih masih terbatas, upaya untuk mengurangi konsumsi gula yang menjadi pemicu penyakit-penyakit kronis perlu dilakukan.
Dan jangan sampai terlambat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.