KOMPAS.com - Pernahkah Anda mendengar kisah tentang korban KDRT namun bisa dengan mudah memaafkan pelaku dan memilih bertahan untuk hidup bersama?
Ya, kisah semacam itu memang bisa saja terjadi karena adanya trauma bonding.
Adanya trauma bonding bisa membuat seseorang memiliki keterikatan yang kuat dengan orang yang menyakitinya.
Hal semacam ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk hubungan, baik dalam rumah tangga atau saat masih pacaran.
Adanya trauma bonding bisa membuat penderitanya terkungkung dalam siklus pelecehan atau kekerasan dan rasa kasih sayang yang sulit diputuskan.
Baca juga: Kenali Apa Arti Introvert dan Ciri-ciri Kepribadiannya
Trauma bonding adalah kondisi di mana seseorang yang pernah atau telah dilecehkan merasakan hubungan yang dekat dengan pelakunya.
Hubungan ini didasarkan pada pelecehan yang dialami - baik emosional maupun fisik.
Jadi, penderita trauma bonding bisa memiliki ikatan yang kuat dengan orang yang memperlakukannya secara buruk.
Setelah mengalami kekerasan atau pelecehan, pelaku akan memberikan rasa aman dan ketenangan, kemudian kembali melakukan kesalahan yang sama.
Hal inilah yang membuat korban sulit melepaskan hubungan atau rasa sayang pada orang yang membuat dirinya tersakiti.
Trauma bonding terjadi ketika pelaku menggunakan taktik manipulasi dan berulangkali melakukan kekerasan atau pelecehan untuk membuat korban merasa bergantung pada mereka.
Akibatnya, korban merasa memiliki ikatan yang kuat dengan pelaku. Kondisi semacam ini biasanya dialami seseorang yang memiliki pasangan narsistik.
Baca juga: Memahami Apa Itu Fetish dan Penyebabnya
Dalam tragedi kekerasan, trauma bonding memainkan peran paralel di dalamnya. Trauma bonding bisa menyebabkan korban kekerasan bisa menyesuaikan diri dengan hal buruk yang dialaminya dan tetap memilih hidup bersama dengan orang yang telah menyakitinya.
Pengalaman trauma bonding yang dialami setiap orang berbeda-beda. Namun, hal tersebut biasanya membentuk pola umum, seperti berikut:
Love bombing adalah saat seseorang membuat kita merasakan kasih sayang berlebihan.
Dalam hal ini, pelaku bisa melakukan berbagai hal yang membuat korban merasa dicintai.
Pelaku kekerasan dapat melakukan tindakan tertentu agar dianggap dapat dipercaya. Jika korban meragukan kepercayaan mereka, mereka bisa saja marah dan merasa tersinggung.
Pelaku seringkali mengkritik korban hingga korban bahkan menyalahkan dirinya sendiri. Dalam banyak kasus, korban menjadi percaya bahwa mereka pantas dikritik, bahkan ketika mereka tidak melakukan kesalahan apa pun.
Pelaku kekerasan mempertahankan perilakunya sendiri dengan memanipulasi korbannya.
Ketika seorang korban mencoba untuk menentang perlakuan tidak adil yang didapatkannya, pelaku bisa saja mengelak dan membuat alasan bahwa hal buruk yang dialaminya adalah akibat dari perbuatan korban itu sendiri.
Mereka bisa meyakinkan korban bahwa kekerasan yang dialaminya adalah hal normal dan tidak ada yang salah dengan itu.
Baca juga: Kenali Apa Itu Anxiety dan Cara Mengatasinya
Setelah berulang kali mengalami kekerasan atau pelecehan, korban akan mencoba mempertahankan diri dengan fawn respons.
Fawn respon merupakan bentuk pertahanan diri dengan cara menyenangkan pelaku.
Korban kekerasan bisa mengalami tekanan psikologis yang parah. Namun dalam tahan ini, korban bisa mengalami amti rasa emosional, merasa seolah-olah kehilangan siapa diri mereka, menarik diri dari orang dan aktivitas, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri.
Sikulus tersebut akan berulang hingga korban selalu memiliki alasan untuk kembali memaafkan pelaku dan memilih untuk tetap hidup bersama mereka hingga insiden kekerasan lainnya terus terjadi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.