KOMPAS.com - Di tengah-tengah perubahan iklim yang ditandai dengan maraknya cuaca panas ekstrem, sejumlah ilmuwan berhasil mengidentifikasi suhu dan kelembapan udara yang bisa ditoleransi tubuh manusia.
Menurut ahli, orang dewasa dalam kondisi sehat hanya mampu bertahan di bawah ambang batas suhu 35 derajat Celsius dan kelembapan 100 persen, atau suhu 46 derajat Celsius dan kelembapan 50 persen, selama maksimal enam jam.
Pada kombinasi suhu, kelembapan, dan durasi di atas, keringat yang menjadi instrumen utama untuk menurunkan suhu inti tubuh, sudah tidak mampu lagi menguap dari kulit.
Kondisi ini bisa menyebabkan heat stroke atau serangan panas, gagal multi-organ, sampai kematian.
Baca juga: 8 Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan
Titik kritis kombinasi suhu dan kelembapan yang dapat ditoleransi manusia ini disebut para ahli dengan istilah “wet bulb temperature” alias suhu bola basah.
“Wet bulb temperature pernah terjadi belasan kali, sebagian besar di wilayah Asia Selatan dan Teluk Persia,” kata Colin Raymond dari Jet Propulsion Laboratory NASA kepada AFP, Selasa (8/8/2023).
Raymond yang memimpin riset ini membeberkan, tidak ada kematian massal dari serentetan kejadian tersebut. Pasalnya, kejadiannya berlangsung kurang dari dua jam.
Untuk diketahui, kejadian wet bulb temperature beberapa tahun terakhir dipengaruhi fenomena alam seperti El Nino dan peningkatan suhu permukaan laut.
Baca juga: DBD Merebak Dampak Perubahan Iklim, Kok Bisa?
Meskipun sudah ada rambu-rambu suhu dan kelembapan udara maksimal yang bisa ditoleransi tubuh manusia, menurut Raymond, ambang batas panas ekstrem terkadang bisa berbeda-beda pada setiap orang.
Hal itu tergantung pada usia, kondisi kesehatan secara umum, faktor sosial dan ekonomi, dll.
Sebagai gambaran, lebih dari 61.000 orang dilaporkan meninggal dunia karena gelombang panas di Eropa tahun lalu.
Pada waktu itu, cuaca sangat panas, namun menurut ahli, tingkat kelembapan udaranya masih di bawah titik kritis wet bulb temperature yang dianggap membahayakan nyawa manusia.
Seiring meningkatkan suhu global, di mana pada 3 Juli 2023 lalu menjadi rekor baru suhu Bumi terpanas yang mencapai 17,01 derajat Celcius, para ahli mewanti-wanti agar kita lebih waspada ke depan semakin banyak kasus kematian akibat cuaca panas.
Menurut catatan Raymond bersama timnya, frekuensi kejadian gelombang panas yang mematikan meningkat dua kali lupat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir.
“Peningkatkan frekuensi kejadian ini bisa jadi alarm bahaya serius dari perubahan iklim,” ujar Raymond.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya